Setelahnya, kami beberapa kali bertemu—hanya saat di taman—dan itu bukan berarti aku adalah temannya secara harfiah. Tentu saja kami sering menyapa dengan baik dan benar sekali pun terkadang aku hanya melaluinya begitu saja. Tidak jelas apa tujuannya sering datang ke taman. Dia hanya duduk, memberi makan burung, atau mendengar pemusik jalanan, begitu seterusnya setiap kali kami bertemu.
Pertemuan yang kubuat terjadi seakan tidak sengaja itu membuatku mulai mengenalnya sedikit demi sedikit dengan baik. Di beberapa kesempatan, ia terang-terangan melamun dengan sorot mata kosong yang aneh di hadapanku dan menunjukkan kecerobohannya saat meninggalkan sarung tangannya di bangku taman.
Itu membuatku menarik kesimpulan mengenai kebiasaan Muller yang sepertinya tidak teratur. Rambut pirangnya juga berantakan tak dipotong dan kaku bagai membeku. Itu membuat empatiku terbuka untuk mengajaknya datang ke rumahku, menikmati libur akhir tahun bersama layaknya orang-orang pada sahabat karibnya. Hanya saja mengetahui namanya tidak cukup bagi seseorang pantas menjadi sahabatnya.
Beberapa hari kemudian, ia membagikan rencananya padaku untuk mendatangi pondok di ujung rel kereta api tua. Jalurnya tentu sangat aman. Terhitung telah puluhan tahun ditinggalkan dan merupakan bekas dari jalur bagi gerbong tentara saat perang dunia meledak. Kami harus menyusurinya dengan sangat teliti. Akan lebih mudah mendatanginya saat musim panas, cahaya matahari tahu ke mana kami akan pergi.
Rel keretanya jelas terbuat dari kayu pohon dan mudah sekali ditumbuhi bunga liar saat musim panas. Padang salju di sekitar rel pasti akan jauh lebih indah jika temanku ingin bersabar sampai musim semi tiba dan salju telah mencair sepenuhnya.
Aku tidak sepenuhnya berpikir idenya itu payah. Aku secara murni memang berkeinginan mendatangi pondok itu bukan karena takut dicetus sebagai pecundang yang cemas tersesat. Jadi, aku berjalan di belakangnya dan Muller memanduku.
Aku tidak yakin apakah Muller mengingat jalannya dengan persis. Aku melihatnya beberapa kali mematahkan ranting pohon mati dan membuangnya di jalur yang kami lewati. Taktiknya mengingatkanku dengan dongeng rakyat Hansel dan Gretel.
Aku lantas bertanya apakah dia mendapatkan ide meninggalkan ranting sebagai tanda dari cerita itu? Tapi dengan lugu Muller justru balik bertanya siapa Grimm bersaudara dan Hansel yang kusebut. Oh, mengejutkan! Seorang anak yang tumbuh di Jerman tidak mengetahui siapa Grimm bersaudara! Aku lalu semakin yakin bahwa Muller masih sangat hijau tentang cerita-cerita rakyat.
Lalu bagaimana seorang anak kecil sepertinya tumbuh? Seorang pemikir bebas yang menolak ketidaklogisan pasti setidaknya tahu siapa penulis dongeng terbaik di Jerman. Di mana saja ia selama seabad terakhir ini? Ia membuatku lega saat aku bertanya apakah ia mengenal Johann Wolfgang von Goethe? Dan reaksinya sangat fanatik. Itu justru lebih membuatku kebingungan.
Situasi itu membuatku semakin penasaran dengan cerita-cerita detail hidupnya dan di mana ia tinggal. Mungkin, ayahnya adalah seorang penulis atau ibunya tidak pernah membacakan dongeng untuk anaknya sebelum tidur. Ada banyak kesimpulan kurang akurat yang aku pikirkan tentangnya. Aku tidak berpikir itu cacat hanya karena dia tidak pernah tahu kisah klasik. Dongeng mungkin adalah identitas anak-anak yang hidup dengan baik, tapi kali ini seseorang harus membuat pengecualian atas paham itu.
"Senang karena kau sadar aku ini aneh," katanya.
"Tidak, itu tidak aneh. Hanya saja ini tidak benar. Bagaimana kau hidup bersama ayah dan ibumu? Apakah kau tidak pernah mengunjungi rumah nenekmu dan membaca dongeng Si Kerudung Merah bersama? Maksudku, cerita-cerita itu hal yang sangat umum didengar dan kau tidak mengetahui satu pun dari alurnya!"
"Jangan terkejut denganku." Dia lalu pindah berjalan ke atas jelur rel, dia bahkan tidak melihat ke arahku dan responnya terlalu abstrak.
Dia terlihat normal—hampir seperti anak lainnya. Suaranya bahkan terdengar seperti seorang pembangkang yang lazim untuk anak seusianya. Begitu pun saat di perjalanan, dia banyak membicarakan tentang libur musim panas dan minatnya untuk mengulurkan tali layangan di padang rumput yang luar biasa panas. Tidak ada pembicaraan yang menyinggung tentang kutipan esais dan pendapatnya soal ketidakadilan politik. Dia tampak sangat biasa dan aku mengakuinya, tapi hanya di beberapa kesempatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sinclaire
FantasyNoah bersama dengan pengampunan dan kematian. Masa kanak-kanak dengan jati diri yang dewasa dan seorang anak perempuan yang bersandiwara layaknya rekan yang pantas bagi masa muda Noah. Ia adalah seorang malaikat dengan kabar terburuk sepanjang kehid...