BAB 17: Pot Bunga

389 69 56
                                    

Aku mengusung langkah penat kala keluar dari ruangan persuratan. Gadis dengan spesifikasi rambut pirang gelap itu berjalan—bahkan meloncat—juga di beberapa langkah penat yang kubuat. Meninggalkan kedewasaannya dan bertindak seperti anak sepuluh tahun.

Bahkan di usiaku yang sama aku tidak menikmati kepenatan tempat ramai seperti ini. Semua orang berdiri di sana-sini dan membawa kepercayaan bahwa rumah adalah istana terbaik. Seharusnya aku mengantarkan surat di sore hari, aku bisa melanjutkan tidurku sebentar. Oh, tentu ayah akan berpikir aku membangkang. Keramaian ini, bukankah cukup sebagai alasan yang baik?

Aku duduk di serambi kayu, tepat di luar gedung. Dapat kulihat langit berkumpul di atas kepala orang-orang, dan mereka mempercepat langkah berat yang tampak enggan berkomentar banyak.

Apa aku harus segera pulang? Aku Melirik Sinclaire sebentar dan memastikan ia masih mengikutiku, seperti yang hanya bisa ia lakukan. Dia tidak bicara aneh-aneh sama sekali saat berada di dalam kantor surat. Ia hanya berdiri dan bertanya sebentar soal beberapa tanda pemberitahuan.

Mungkin ia sedikit takut dengan wajah kesalku di antara ramainya orang yang berdesakan meminta giliran mereka, atau memang tidak ada topik yang menarik soal pengamatannya yang hebat. Yang pasti itu membantuku sebentar.

Aku mulai bertanya apakah ia benar-benar tak ingin berbicara apapun hari ini. Rupa menawannya itu selalu datang dan dapat memulai pembicaraan apapun, sekalipun pembicaraan aneh yang tak akan orang-orang bagikan.

"Aku mengantuk," kataku sambil meliriknya, dengan sedikit harapan ia membalasnya dengan beberapa kata—meskipun itu adalah ejekan.

Ia masih diam. Kulihat matanya menatap lurus ke seberang. Ia melihat pada pot bunga yang tergantung di langit-langit serambi kedai, tampak bagai seorang pengarang yang tertarik menulis puisi tentangnya. Kulihat itu membuat kedua matanya bagai bersinar di bawah rambutnya yang panjang. Begitu fanatik dan penuh antusias.

Aku hampir tak peduli soal observasinya, malahan aku akan panik setengah mati dan meloncat jika ia tak pernah seaneh itu sekali saja. Tanpa sadar ia hampir seunik Herrz Muller, tapi dengan ketertarikan yang berbeda. Mungkin itulah mengapa aku bisa dekat dengan mereka berdua. Bahkan tanpa perlu banyak pengenalan.

"Aku punya cerita ...."

"Cerita?"

Ia bergumam. Itu membuatku penasaran sehingga aku menoleh padanya. Kulihat mata birunya menjadi kelabu, sesuatu seperti tercermin dari matanya. Ada sebuah kedai, hujan, dan Herrz Muller berdiri membelakangi bola matanya. Itu membuat mata Sinclaire layaknya cermin. Mata itu layaknya bercerita. Aku terdiam sebentar melihatnya.

Sedetik kemudian sesuatu membuatku terkesiap. Aku melihat ke asal suara. Pot bunga yang berada di langit-langit kedai di seberang jatuh dan membuat keributan sebentar, tampaknya angin dari hujan deras menjadi tersangkanya.

Hujan telah terjadi di depanku, di atas kepala mereka, orang-orang tak begitu menghiraukan pot yang jatuh melainkan kepada anak yang terjatuh di jalan. Seorang pria pesepeda yang menabraknya juga ikut terjatuh. Seperti mereka berdua baru mengalami hal besar karena saling terburu-buru.

Apa yang kulewatkan? Rasanya seperti aku telah melewatkan beberapa menit kejadian. Seakan aku baru melewati satu halaman sebuah cerita.

"Maafkan aku, aku asal berlari ke jalan, maafkan aku," kata anak itu berusaha berdiri. Semua orang dapat melihat jelas bahwa kedua lutut anak itu terluka, bahkan cukup parah.

"Tidak, maafkan aku juga. Hujan membuat pandanganku buruk, aku juga terburu-buru," pria tua itu sibuk dengan sepeda tuanya, "Kau sungguh tidak apa-apa? Kakimu?"

Anak itu hanya diam, mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyembunyikan darah di lututnya, bersamaan dengan ekspresi kesakitan. Rompi sekolah yang anak itu kenakan telah basah kuyup karena hujan. Rambut kakunya yang selama ini tampak bagai membeku seketika mencair. Aku sungguh mengenal anak dengan sanjungan baik itu. Ia adalah Herrz Muller.

"Bukan apa-apa. Aku bisa mengatasinya."

Pria itu tampak ragu, karena hal tersebut bersamaan dengan hujan yang semakin deras, pria itu terpaksa melaju terlebih dulu. Meninggalkan peristiwa sesaat itu dan mungkin akan segera melupakannya.

Aku terpaku pada jalan. Entah mengapa aku hanya diam. Kalaupun aku sedikit berguna sepertinya sudah terlambat.

Anak itu—Herrz Muller—tetap di sana, berdiri sendirian.

Duk!

"Duh, sakit."

Aku memeganggi kepalaku dan mendapati diriku tersungkur di atas kursi panjang di ruang tunggu. Aku ketiduran. Beberapa orang sedikit menaruh perhatian padaku, entah sejak kapan. Ini sedikit memalukan. Sepertinya aku memang seharusnya pergi saat sore hari.

Aku melihat ke sekeliling, aku ingat datang bersama Sinclaire, di mana anak itu? Aku melihat keluar, di luar hampir hujan. Ah, biarkan ia berkeliaran, ia dapat menemukan jalannya sendiri. Aku harus segera pulang!

Aku keluar, mendapati sepedaku yang terparkir bersama beberapa sepeda yang tersisa. Namun, sebelum aku keluar dan berada di bawah awan mendung, aku terlebih dulu melihat Herrz Muller berdiri membelakangiku. Ia tampak menunggu untuk menyeberang, sambil ... melamun.

Seketika rasanya semua menjadi familiar.

"Hei, Herrz Muller." Aku menepuk pundaknya. Ia tampak tenang, bahkan ia tidak takut aku memergokinya yang bolos seperti ini.

Ia sempotan berbalik, melihatku sesaat seakan membalas sapaanku dan tiba-tiba saja hujan turun. Ah, sial sekali. Aku segera menarik tangannya dan pergi ke seberang jalan untuk berteduh di sebuah kedai dengan hiasan pot bunga. Kurasa ia tidak pandai menyeberang. Oh, seseorang bisa menabraknya.

"Terima kasih ... Noah."

Aku tersenyum, tentu ini bukan sebuah balasan yang setimpal untuk rasa terima kasihnya. Aku terdiam, memikirkan sebagian hal yang terasa tidak asing saat hujan turun tepat di depan mataku. Aku mulai mengingat mimpiku.

Mimpi mengenai Herrz Muller. Ia berdiri di bawah guyuran hujan, mencoba menyeberang, lalu seseorang menabraknya juga. Terdengar seperti kesialan. Oh, apa mimpi itu akan menjadi kenyataan seandainya aku tidak menyapanya.

Aku mulai mengingat Sinclaire dengan segala obsesinya. Di dalam mimpiku, ia duduk di sisiku, menatap lurus pada kedai tepat di seberang jalan, melihat pada sebuah pot bunga yang tergantung di langit-langit kedai. Kemudian pot itu jatuh.
Menghantam tanah—seharusnya.

Herrz Muller terdiam sebentar. "Noah, kau tidak apa-apa?"

Tidak, rasanya seperti sesuatu telah menghantam kepalaku dengan keras. Seakan pecah di atas kepalaku. Menyisahkan kesakitan yang tak sementara. Herrz Muller, anak dengan budi baiknya itu menahan kedua bahuku.

Aku mengernyit sakit sekaligus heran. Kepalaku sangat sakit. Darah menetes dari kepalaku.

Hai~ lama tak jumpa~ mungkin ada sesuatu yang ingin diceritakan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hai~ lama tak jumpa~ mungkin ada sesuatu yang ingin diceritakan?

Hehehe maaf jadi lupa sama anak sendiri(+_+)

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang