BAB 9: Konsep Cerita

561 106 120
                                    

Kenyataannya beberapa kisah selalu diceritakan kembali, berulang-ulang. Seperti yang pernah kuingat, saat di tahun awal sekolah dasar dulu, ketika guru kami menceritakan kisah seorang seniman yang takut berhenti membuat lagu dan menghadapi kematian kedua setelah gagal dalam komposisi terakhirnya—kematian pertama. Anak-anak di kelas sepakat bahwa kisah itu adalah kisah terbaik yang pernah diceritakan pada kami. Itu tidak sedikit pun terdengar seperti dongeng, walau kami yakin bahwa guru kami mengarangnya langsung di kelas. Dia pencerita yang baik.

Di sore yang tak tertahankan, aku mendengar suara lembut dari pendongeng yang layaknya gadis 10 tahun menceritakan kisah seorang perawat yang jatuh dari jendelanya. Sering sekali aku mendengar cerita serupa yang lebih fiktif dan kematian adalah konsep untuk akhirnya. Orang-orang acap kali tertarik pada akhir yang jelas. Konsep yang benar, konkret, dan hampir tanpa rumor. Mereka sama sekali tak diselubungi pertanyaan tanpa akhir.

Dan aku kembali dengan pelanggaran kecil di ujung celanaku. Aku membawa sepatuku ke dalam rumah. Rumah yang bergradasi jompo dan terhormat dari pemiliknya. Orang tuaku memiliki kepunyaan atas semua di dalamnya; rak buku raksasa yang menakutkan, ukiran dari rak perapian yang detail, dan gudang bawah tanah yang mampu menghisap imajinasi gelap anak-anak. Tapi tak sepenuhnya mereka memiliki kepunyaan atas sepatu anak mereka yang dapat pergi ke mana pun.

Ayah menarik tanganku dan melihat ujung kemejaku yang kotor dengan tanah. Aku mencoba mengalihkan dengan meminta maaf padanya sebaik mungkin—itu pengalihan yang payah. Sol sepatu dan ujung pakaian bisa menjelaskan tentang seseorang dibandingkan seberapa kau telah mengenalnya. Kau bahkan dapat tahu di belahan bumi mana ia telah berkeliling jika kau lebih teliti pada penampilan seseorang. Itu bukanlah kemampuan unik nan magis seperti yang Sinclaire lakukan, sangat logis untuk menjelaskannya.

Apapun itu, ini adalah peringatan pertama dari keramahan ayah. Kupikir, beberapa orang membuat pelanggaran pertama di masa kanak-kanaknya dengan penghakiman dasar yang sederhana, walau terkadang beberapa dihakimi layaknya pencuri labuh tanpa ampun. Dan kurasa ini adalah toleranku yang pantas dimaafkan. Itu adalah kesalahan yang telah kuketahui aturannya.

"Seingatku, ayah pernah mengajarimu untuk menulis catatan jika kau ingin pergi." Singgungnya, aku berdiri sementara dia duduk dan ketika dia melihatku aku segera menegakkan pandanganku. "Lupakan soal ke mana kau pergi, kau bebas mengelilingi Brandenburg dengan sepatu kotormu. Kau bahkan pergi tanpa mengunci satu pun pintu di rumah, ayah harap ini bukanlah wacana yang akan kau lupakan dengan mudah, Noah."

"Maaf," gumamku bersalah, itu sungguh sebuah permintaan maaf tulus yang anak-anak katakan. Aku bisa mendengar suara napas beratnya yang melegakan. Dia berlalu, membawa dua cangkir tehnya ke dapur dan bertanya apakah teh adalah ide yang bagus, tentu aku sangat menerima baik ide itu.

Aku bersyukur, bahwa ayah dibangun dengan identitas yang baik. Aku kembali mendengarkan ocehan politis di radio ayahku dan kami mulai membicarakan keramaian stasiun akhir-akhir ini—menu sarapan kereta paginya juga membosankan—sebuah pembicaraan sederhana. Dia menatapku ketika bertanya tentang rasa tehnya, itu melegakan karena ia melihatku tanpa anggapan. Aku tidak banyak menatap ayah, mungkin sisa tumpahan teh di lengan bajunya telah banyak menarik perhatianku. Ayah berpura-pura tidak tahu soal lengan bajunya, jadi aku tak mau membahasnya.

Ayah mengizinkanku kembali ke kamar saat larut malam, itu pukul sepuluh dan aku masih bisa mendengar suara obrolan orang-orang sembrono yang kedinginan di cuaca buruk. Semua menjadi muram ketika seseorang bernyanyi dari dalam ruang bawah, itu bukanlah seperti senandung yang biasa dinyanyikan oleh nyonya muda di dapur mereka. Itu jelas menakutkan dan penuh penawaran.

Dan itu membuatku kembali teringat dengan cerita perawat Starnberg. Itu jelas terdengar seperti Sinclaire! Aku tebujuk, ditarik oleh nada yang sama benarnya dan apel yang menuntunku ke dalam. Aku telah lama mengalihkan ketakutanku akan ruang di bawah tangga rumah kami dan aku mulai menjabarkan ketakutanku pada hal yang lebih logis, semua selalu menjadi logis saat seseorang sedikit lebih tua. Orang-orang tidak akan percaya dengan cerita monster dan mengatakan bahwa itu hanyalah alat pel. Itu sudah lama dan tidak pernah ada moster, hanya akan ada ketakutan kecil di dalam sana.

Aku perlu menuruni tangga, ruangan itu tak segelap terkahir kali aku masuk, namun aku hampir telah melupakannya. Ada banyak peti buku, perkakas, dan alat pel yang selalu kutakutkan. Tentu, alat pel tidak dapat bernyanyi dan membuat wajah seram, jadi itu pastilah si penyuka apel yang melakukannya.

Aku terlalu jatuh terhadap ketakutanku dan tak menyadari bahwa seseorang tengah berjongkok di depan sebuah lukisan terselimut debu tipis, gadis itu menatap kosong lukisan yang diam di sisi ruangan. Aku ingat bagaimana sorot matanya yang kosong, sorotnya tak lagi mengisyaratkan bahwa ia masih gadis kecil yang hanya tahu bersenang-senang. Fanatik, suram, tidak bernorma, dan tanpa kecemasan, sorot yang layak memimpin kebebasan. Betapa sangat jarang seseorang dapat hidup seperti itu. Dia diam seakan tertarik pada obsesi aneh lainnya.

Aku mulai membuat penawaran dengan ketakutanku. Kenapa dia hanya diam? Dia selalu bersisik, mondar-mandir mencari krayon, mengarang cerita saat aku mau mendengarkannya. Dia selalu berkuasa lewat intelektual langkahnya dan aku selalu tak memiliki ide atas gagasannya. Kenapa dia memiliki kekuasaan dengan matanya juga? Dia memberiku permuliaan dengan sorotnya yang melihatku. Sekali lagi dia tersenyum dan tanpa menyapaku.

"Kau tahu, cerita mengenai perawat Starnberg itu tidak sepenuhnya salahku. Aku hanya tahu cerita selanjutnya, oleh karna itu aku memberi tahu. Bukankah aku juga memberi tahu tentang kematianmu? Aku tertarik karena aku tidak yakin dengan akhirnya." Dia tersenyum, melanjutkan. "Kau salah soal konsep akhir tentang kematian, ada akhir lain untukmu."

Remang tak lagi menunjukkan keberadaannya, aku tak lagi melihatnya. Aku pikir itu terdengar seperti aturan main. Hanya ada alat pel di depanku, tapi aku tak yakin apakah aku kembali menyusup pada ingatan mosterku. Aku berhenti mendengar suara Sinclaire dan dia meninggalkan kertas gambarnya.

Ia menggambar pohon pinus di depan rumahku—mungkin lokasinya tidak sama dan agak jauh ke hutan—dia meninggalkan gambarnya. Kertas itu dipenuhi gambar-gambar tak berarti dari jauhnya lokasi pohon itu. Aku mulai bertanya pada diri sendiri tanpa mendapat hipotesis yang akurat akan keanehan kertas itu. Aku mulai membalik kertas itu dan kupikir dia berniat meninggalkan kalimat untukku.

"Seharusnya kau tidak bertemu dengan Herrz Muller," tulisnya. Tak ada goresan lain yang menandakan bahwa kalimatnya rumpang.

 Tak ada goresan lain yang menandakan bahwa kalimatnya rumpang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Author's note:
Hng ... *keinget resolusi tahun baru* terima kasih karena sudah mampir, terima kasih sudah vote, terima kasih sudah membaca.

Dan terima kasih untuk 1k pembaca, ini pengalaman pertama. Sinclaire benar-benar merubah keseriusanku tentang banyak hal. Banyak sekali yang terjadi dan karena cerita ini saya mulai merubah gaya bahasa untuk cerita saya. Saya banyak belajar. Saya juga sangat berterima kasih dengan kritik dan saran untuk karya saya, itu sangat dibutuhkan.

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang