BAB 15: Seseorang Hidup, Seseorang Mati

468 81 91
                                    

Agaknya menghitung kacang polong di meja atau membaca buku telah menarik kebosananku. Oh, tentu saja, seorang yang penuh semangat itu sungguh memantrai pintu utama dan membuat sang pemilik bagai terjebak. Aku mulai berpikir untuk belajar kabur melalui jendela, walau hampir mustahil ketertarikanku dapat melebihi bakatku yang kosong. Pula jika aku cukup berani untuk mempertaruhkan pergelangan kakiku.

Itu adalah pukul lima sore ketika ayah datang dengan kerah mantel yang terangkat. Topinya yang bertepi lebar dan basah membuat beberapa orang akan memandangnya sedikit lebih terhormat. Angin berhembus kencang dan hujan kecil baru terjadi selama sepuluh menit, mungkin itu yang membuatnya memilih bertaruh dengan cuaca buruk ketimbang berteduh di kedai roti lapis.

Kupikir hujan kali ini tidaklah buruk, itu belum membuat kedua pasang sepatu kulitnya kacau dengan lumpur. Akan tetapi Alisnya yang meninggi jelas menunjukkan kekesalannya pada dampak cuaca tak terduga, kemudian matanya membesar senang saat melihatku duduk di kursi makan dan memainkan halaman buku. Ia mulai berhenti bergumam kesal karena mantelnya yang basah.

Ia mencoba mengalihkan kekesalannya soal penampilan yang kacau dengan bercerita tentang tuan toko roti lapis yang gemar melucu. Ia bercerita sambil melepas mantelnya yang basah. Aku mengangkat bahuku sebagai respon abstrak yang tak seharusnya dilakukan seorang pendengar. Bahkan aku belum pernah ke toko itu.

Walau begitu sepertinya ayah dapat melupakan kekesalannya soal hujan di luar, walau tawanya terlihat sedikit buruk. Ia hampir tidak pandai bercerita. Ia melepas mantelnya, berniat menggantungnya sendiri entah di mana. Kupikir, dia bahkan tidak tahu harus di mana meletakkan mantel yang basah. Itu sedikit aneh untuk seseorang yang selalu menulis jadwal di agendanya. Seseorang yang selalu tahu apa yang akan ia lakukan hari ini dan besok. Mungkin mantel adalah hal sepele.

"Biar aku yang membawa mantelnya ke atas agar kering," kataku. Terdengar seperti tawaran bagus dari anak yang baik pula. Tentu ia tidak keberatan. "Oh ya. Hari ini ayah menaruh kunci rumahnya di mana?"

"Kunci? Ayah tidak pernah mengunci pintu selama kau masih di rumah," jawabnya cukup yakin. Ia melirik pintunya, menarik satu alisnya. "Apa ada masalah dengan pintunya?"

"Kurasa ... bukan apa-apa," jawabku buru-buru. "Apel strudel tadi pagi tidak buruk."

Aku menautkan senyum pengalihan. Aku agak malas menceritakan apa yang terjadi pagi tadi, walau aku tidak akan menceritakan soal Sinclaire.

Aku segera naik ke atas, memenuhi tawaranku dan membuat tuan rumah senang akan mantelnya yang mungkin dapat kering sebelum ia pergi. Aku mendengar ayah mulai menyalakan radionya di bawah. Aku juga tahu ia selalu membuat kopi saat radio sedang menyala. Ia hanya gemar menyalakan radio dan membuat keributan dengan gramophone.

Suara familiar sepatuku yang terdengar berderap kasar memenuhi lorong yang mulai menggelap. Hampir sepenuhnya aku mengenal langkahku sendiri dan hanya itulah yang dapat kudengar, sampai pintu kamarku terbuka kala aku menyalakan lampu lorong. Itu tentu membangun sebuah ketakutan. Sesuatu membuatku berpikir tentang pencuri di saat hujan. Oh, sepertinya berita dari radio sedikit mempengaruhi ketakutanku. Pikiranku yang lain cukup yakin bahwa Sinclaire telah membuka pintu kamar dan membuatku harus bernapas malas.

Sepi. Tidak ada siapapun kala aku masuk. Aku mendekati jendela saat aku melihat sekeliling di luar. Hujan terjadi di luar jendelaku dan itu membuat jalan di luar sangat sepi. Aku bahkan bisa mendengar dera hujan yang coba berbisik pada lubang serangga. Angin yang masuk bersama setengah air hujan membuat tanda kotor pada beberapa sampul bukuku di meja.

Itu membuatku diam dan teringat akan vas bunga yang kujatuhkan di meja ayah saat aku kecil. Aku ingat bagaimana kupikir ayah akan marah besar soal puluhan kertasnya yang basah—walau ia segera memaafkanku. Ketika aku berpaling dari ingatan semacam itu dengan sensasi terlena, aku mendapatinya lagi. Sinclaire berdiri di depan lemari buku, melihat sebuah origami tulip yang berada di tempat pensil.

Sambutan tiba-tibanya membuatku terkejut sekaligus kesal. Tampaknya ia sedang tertarik mengembangkan kegandrungannya pada hal lain di kamarku, apa ia baru menyadari karangan origami itu? Oh, selama ini ia hanya fokus pada kertas dan apel. Ia lalu bertanya mengenai kemampuan merangkai origamiku yang baik. Beruntung ia tidak tertarik memintaku mengajarinya. Aku tidak ingin bertanggung jawab atas kamar yang penuh dengan origami nantinya. Aku pura-pura tak peduli dan membersihkan mejaku yang basah karena air hujan. Mungkin aku harus memindahkan letak mejaku besok.

"Kau masih kesal karena aku menguncimu atau karena catatannya?" katanya sambil tersenyum meledek, bukankah itu sudah jelas.

Aku hanya diam. Sejujurnya aku tidak pernah menaruh kekesalan semacam itu. Mungkin tidak begitu menanggapi singgungannya sekarang cukup bagus. Walau aku masih ingin menanyai tentang buku cerita padanya. Mungkin ia tidak akan pergi secepat itu sekarang. Entah mengapa ia jadi sering menghilang. Apa yang dapat membuat seorang Sinclaire sibuk? Ayolah, dia hanya mengelilingi Brandenburg seharian.

"Sepertinya kau kesal karena keduanya."

Aku menghela nafas, hampir seperti setengah memaafkannya, tentu ini soal yang tadi pagi. "Temanku, bisakah kau duduk di kursi dulu selagi aku membersihkan meja."

"Entahlah Noah," katanya duduk di ranjangku sembarangan. Oh, padahal aku menyuruhnya duduk di kursiku. "Kau keras kepala sekali. Aku sudah memberi tahumu untuk tidak bertemu dengan Herrz Muller."

Aku mendengus kesal. Entah seberapa penting peringatannya bagiku sejauh ini. Dia bahkan tidak memberi alasan gamblang yang pasti. Bisakah ia mengatakannya langsung, bahkan sekarang. Itu membuat kejelasan soal apapun yang ia katakan. Apapun, soal ceritanya tentang aku, juga Herrz Muller.

"Kau berpikir begitu?" katanya seakan membaca pikiranku. Mungkin ia tersenyum remeh di belakangku, dan aku bisa merasakan sorotnya yang menembus punggungku. Opiniku terdengar seperti kesalahan baginya. "Kau tahu? Seseorang hidup, seseorang yang lain juga mati."

Suaranya terdengar halus. Perkataannya itu mulai membuatku sudi memandang maniknya yang sebiru danau, hampir begitu menakutkan dan eksesif. Bagaimana ia bisa setenang itu saat sedang membicarakan kematian? Itu adalah mimpi buruk untuk orang-orang, dan itu bagai ialah yang memegang kunci mimpi buruk itu. Ia masih diam saat aku melihatnya, sebuah kemenawanan yang menakutkan.

"Aku membuat penawaran untukmu. Ada takdir di mana kematian dapat ditangkal oleh seseorang," katanya, terdengar seperti pembelaan yang salah.

"Seseorang?"

Suara buku yang terjatuh dari rak membuatku tersentak dan spontan mengalihkan pembahasan. Itu adalah buku cerita yang Herrz Muller berikan padaku—buku yang sebenarnya dari Sinclaire.

Saat aku ingin kembali pada keingin tahuanku akan perkataan Sinclaire, gadis itu telah beranjak dari tempatnya, menghilang, seperti yang selalu ia lakukan. Ia pergi bahkan tanpa ada sedikitpun suara yang tak ubahnya hanya tentang hujan dan angin. Suaranya terdengar halus dan berbisik, itulah yang tersisa.

Aku menghampiri dan memunggut buku itu. Lagi-lagi buku itu terbuka pada suatu sub bab. Aku telah menyelesaikan bab itu siang ini. Bab di mana Hansel dan temannya terjebak di rumah seorang penyihir. Mereka berdua tidak dapat bebas dari tempat itu.

Aku memperhatikannya kembali dan nama Herrz Muller ada di bawah sub judul itu bagai jawaban. Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Apa sungguh Herrz Muller yang akan menjadi penyebab kematianku, atau justru aku yang menjadi penyebab kematiannya?

 Apa sungguh Herrz Muller yang akan menjadi penyebab kematianku, atau justru aku yang menjadi penyebab kematiannya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang