BAB 19: Akhir yang Ditentukan

301 63 26
                                    

Aku hampir tidak mengingat hari-hari di mana aku pulang dengan antusias. Seolah-olah itu semua baru terjadi kemarin, saat aku masih sangat muda. Ibu selalu berdiri di depan pintu dan memastikan aku pulang sesuai periode yang dijanjikan. Bahwa sejak awal aku dibentuk oleh figur penuh aturan dan terpuji.

Oh, dan kali ini aku pulang dalam keadaan kacau. Kemejaku hampir sangat kotor, ada noda darah di kera bajuku, dan sepatuku basah. Seketika, itu membawaku pada hari-hari lama saat aku pulang dari akademi dasar. Kekacauan pada anak belia dapat ditolerir oleh alasan yang bagus. Sangat disayangkan, kali ini aku pulang dengan alasan buruk.

Aku masuk dan melepas sepatuku. Kemudian secara kebetulan melihat meja berdebu, teko air panas, dan sepatu ayah di atas karpet kotor. Itu mengacu pada kesimpulan mudah bahwa ia baru saja tiba. Bahwa kami pulang dalam rentang periode yang hampir serupa. Namun, secara teknis akulah yang terlambat.

Aku berjalan perlahan-lahan melewati ruangan ayah. Namun, itu sepenuhnya ide yang buruk. Ia sudah berdiri di sana dan melihatku. Hal itu membuatku terkejut. Aku hampir melupakan kemungkinan reaksinya yang keheranan. Lampu yang menyala di belakang ayah membuat bayangan lurus dan panjang. Bersamaan, Itu menimbulkan kepanikan tersendiri.

Itu meninggalkan kesan tidak menyenangkan. Juga, kuberi tahu betapa terkejutnya ia ketika melihatku pulang dengan luka robek yang mengerikan. Semua itu murni di dasari rasa khawatir. Ia menarik tanganku buru-buru, lantas ayah mengusap rambutku sampai luka itu terpapar jelas di wajahnya.

Oh, lihat! Ia bahkan belum melepas mantelnya yang basah, mengindikasi ia juga baru tiba selepas melawan cuaca buruk. Ayah mungkin pulang dalam keadaan lelah dan aku justru menambah kepanikan di benaknya. Secara harfiah Itu membuatku bersalah.

"Demi Tuhan, lihat dirimu!" katanya dengan suara parau.

Wajahnya masih setengah panik saat mencari kain kasa. Aku duduk lalu memaparkan kronologi pot yang jatuh padanya serinci mungkin. Dia menghela nafas berat saat berjongkok untuk dapat mengobati lukaku. Lalu ayah memberi tahukan kekhawatirannya soal aku, serta tanggung jawabnya. ia memintaku untuk mengerti.

Seperti yang kutahu, Ia tentu mengambil semua kepercayaan yang ibu tinggalkan. Itu membuatku merasa kasihan. Aku merasa buruk atasnya, alih-alih soal rasa sakit di kepalaku. Aku kembali meminta maaf pada ayah sebaik mungkin.

"Hei, tidak apa-apa." Mata birunya menatapku sebentar. Agaknya ia sedikit terkejut dengan reaksi tiba-tibaku. "Lihat sisi baiknya sekarang, beruntung dahimu belum terlihat seperti peta rel kereta api."

Aku tersenyum, beruntung, ayah memiliki selera humor yang tak seburuk Sinclaire. Ia lalu berdiri dan menawarkan lebkuchen yang ia beli. Seakan ia juga memilih untuk tidak memersoalkan kesedihan itu. Jelas, bahwa ia sama merindukan beliau sepertiku. Kesengajaan selalu mudah untuk diketahui.

Ayah memintaku untuk mengganti baju, dan ia masih melihatku saat aku menaiki tangga menuju kamar. Sorot matanya begitu terhormat— seakan-akan begitu mudah bagi seseorang untuk menelaah karakter langkahnya. Kepedulian, teratur, dan dewasa, begitulah yang dapat kau tahu. Itu sepenuhnya berbanding dengan yang aku miliki.

Dari kamarku, aku dapat mendengar suara ranting pohon mongolia yang mendesakku untuk peduli. Kamarku—memang—kosong. Namun, semakin ganjil tanpa adanya Sinclaire dan semangat anehnya. Bukan maksudku berharap ia selalu ada bersamaku, tapi selama beberapa bulan terakhir ia telah meninggalkan atmosfer menarik.

Dan alih-alih ranting mongolia, aku justru jauh peduli untuk melihat buku di atas mejaku. Buku yang Herrz Muller berikan di rumah seorang veteran, buku dengan judul layaknya dongeng, dan gajilnya hampir tak ada satupun yang menjelaskan soal dongeng itu sendiri. Seakan buku itu justru menyimpan kisah baru-baru ini.

Bab barunya mengisahkan tentang Hansel dan temannya yang masih terjebak di rumah penyihir. Mereka menangis dan berdoa berharap penyihir itu membiarkan mereka pergi. Hingga kemudian, penyihir itu membuat penawaran terkutuk, yang mana sang penyihir hanya sudi melepaskan satu orang untuk tetap hidup.

Entah itu harus Hansel atau temannya. Salah satu dari mereka dengan hati besar yang mulia, memilih untuk tinggal dan mati.

Kemudian aku memutar halaman buku itu berulang. Merasakan keanehan di mana buku itu berakhir dengan sisa kertas yang justru kosong. Meninggalkan kesan bahwa akhir dari cerita itu sendiri bahkan belum ditentukan.

"Lalu ... bagaimana akhirnya? Tidak ada?"

Oh, mengejutkan! Sekarang apa? Aku bahkan tak menaruh harapan pada beberapa lembar rumpang yang tak berarti. Rasa keingintahuan menarikku pada obsesi yang hampir segila Sinclaire. Buku ini sepenuhnya diperuntukkan untukku. Namun, juga menghancurkan intensiku yang berulang.

Itu tidak dapat ditoleransi dan aku merasa harus memikirkan kembali soal buku ceritanya. Mungkin saja itu akan terbawa pada akhir kisahku dan Herrz Muller yang coba dikarang Sinclaire. Tentu, aku pernah mengatakan bahwa Sinclaire bagai lakon dan pengarang pada kisahnya sendiri.

Tak butuh rentetan panjang, ayah sudah memanggilku kembali dan memintaku turun untuk makan malam. Aku sepenuhnya menyepelekan perhatian penting ayah soalku dan memintanya untuk menungguku sebentar lagi.

Aku mengernyit sakit dan kulihat sebuah titik darah menetes di buku yang kubawa, mulanya hanya ada satu-dua titik hingga berangsur membuat pola genangan. Secara tak sengaja aku kemudian menjatuhkan buku itu. Kedua tanganku menutupi hidungku dan dari sanalah darah itu berasal.

"Noah, apa ada sesuatu?" teriaknya dari lantai bawah begitu mendengar suara buku yang kubanting. Kudengar suara sepatunya hampir menaiki anak tangga.

"Bukan apa-apa," balasku sambil menarik sebuah sapu tangan di sakuku. "Ayah tidak perlu naik. Aku akan turun sebentar lagi."

Oh, kurasa responku terdengar payah. Beruntung saja itu berhasil, juga kurasa aku membutuhkan Sinclaire sekarang. Aku kemudian melihat sapu tangan yang kubawa. Itu sapu tangan Herrz Muller—ia memberikannya padaku saat di jalan—dan tahu-tahu aku sudah terlalu banyak mengotorinya dengan darah.

Secara tak langsung aku sedikit berpikir soalnya, andai kelak aku memilih Herrz Muller untuk pergi dari kutukan yang Sinclaire tawarkan, ia tak akan masuk dalam panggung lakon yang Sinclaire ciptakan. Oh, tapi jika itu harus aku, seseorang akan kehilangan keluarganya—lagi.

Naskah konyolnya telah membawaku pada kemungkinan terburuk.

Naskah konyolnya telah membawaku pada kemungkinan terburuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Author note:
Kurasa misterinya sudah dijabarkan. Kalau ada yang ingin ditanyakan dan mungkin saran, atau apapun itu? Silahkan sekali karena saya gak gigit.

Juga, soal misteri bagaimana konsep "akhir lain" terjadi, bisa ditelah di bab pot bunga. Jika kalian paham, rentetan yang terjadi pada Noah berbeda dengan 'kisah' yang Sinclaire sampaikan lewat mimpinya. Seharusnya sudah selesai tinggal dieksekusi saja tokohnya—

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang