BAB 11: Teman

403 93 55
                                    

Aku melihat lanskap dari puisi pondok. Tentang cerita anak-anak yang bahagia dan sedih. Anak laki-laki berambut pirang itu masih menatapku, tanpa suara, kesanjungan, dan rasa percaya. Ia menyeruak kembali dengan identitasnya yang jelas. Hampir sangat misterius, tapi sangat sederhana untuk dimengerti. Namun, dengan kepercayaan yang tak sepenuhnya benar.

Aku melihat tangannya yang membawa sebuah kertas dengan kisah—puisi—buatannya. Ada gambar tambahan yang digerus dengan krayon dan pastinya memiliki arti. Aku melihat kembali pada wajahnya yang ingin tersenyum. Aku mulai bertanya, apakah ia senang bertemu denganku?

"Oh, Herrz Muller?" kataku sambil mendapat kesempatan untuk mundur beberapa langkah—tanpa sadar.

Aku terus membuat langkah yang menjauh, itu jelas sebuah penolakan. Kupikir sangat jarang untuk kabur dengan cara perpisahan ternekat, hanya karena setengah mempercayai seseorang. Ia masih diam, membawa kertas itu di pangkuannya dan menatapku dengan tatapan permohonan yang memiliki arti luas.

Aku mulai bertanya kembali, apa aku diam-diam memercayai Sinclaire? Jika ia sudah tahu akhirnya, maka ia hanya perlu mengatakan seperti, "Jauhi Herrz Muller!" Kenapa ia perlu menggambar pohon pinus itu? Mengapa ia membawaku ke makam tua dari seseorang yang ia karang? Apa yang dia ingin dapatkan dari pertemuan kami?

Aku mendapatkan satu langkahku tersandung pada batu yang tertanam. Cukup sederhana untuk membuatku jatuh. Aku pura-pura mengeluh dan mengurangi aspek kegagalan dari kabur semacam ini. Dia menanyai luka kecil di tanganku dan aku menjawabnya ringan tanpa rasa bersalah. Ia pastinya cukup pintar untuk menebak keadaan, tapi kenapa responnya terbatas?

Aku tak banyak melihat ekspresi darinya. Padahal ia adalah anak yang kompetitif dan bersaing. Itu jelas bukan seperti kesalahpahaman yang seringkali terjadi pada sahabat pena yang mulai berhenti menulis surat. Sesuatu tampak menarik wajah keingin tahuannya yang cerdas. Ia tampak berbeda, tapi kali ini datang dengan karakter yang sama. Ekspresinya, semacam kesedihan dan kecemasan yang lumrahnya sulit didapat darinya.

Ia mendatangiku, mendekatiku dengan baik dan hampir seperti saat kami pertama bertemu. Walau ekspresinya berubah, ia sama sekali tak kehilangan langkah kebesarannya. "Butuh bantuan, sobat?"

"Terima kasih," kataku sambil menerima tangannya yang menarikku. Tangannya sangat dingin, aku harap ia tidak meninggalkan sarung tangannya lagi di kursi taman. "Sudah lama, bukan?" tanyaku sedikit menarik perhatiannya yang diam.

"Ya," katanya. "Kau membaca suratku sampai kiriman yang terakhir?" tanyanya dengan nada rendah yang berarti senang, dia jelas sangat bersemangat. Aku hanya perlu mengangguk.

Aku melihat lengan bajunya yang bersih. Ia pasti sangat bersusah-payah menjaganya tetap seperti itu. Entah karena ia gemar pergi diam-diam sepertiku, atau ia sepenuhnya mencintai kebersihan yang diagungkan orang tuanya. Oh, aku penasaran dengan siapa ia tinggal. Pekerjaan ayahnya pasti tak membuatnya sering bertemu.

Aku melihat kembali pada kertas yang masih ia bawa. Aku dapat mengenali tulisan tangannya yang sedikit berantakan untuk anak 12 tahun, tapi tidak yakin dengan goresan krayon tak beraturan yang masih membuatnya tertarik. Aku sedikit terkejut, mungkin saja ia tidak pernah manggambarnya.

Aku melihatnya ragu. Ia menyembunyikan kertas itu di belakang badannya dan mendorongku untuk mengembangkan rasa penasaran pada hal lain. ia perlahan mengembangkan keraguan untuk dirinya sendiri. Aku setengah memikirkan perkataan Sinclaire, tapi jawaban abstraknya membuatku ragu, seperti ia hanya bermain-main.

"Apa kau menulis puisi lagi?" tanyaku bernada tinggi antusias.

Aku justru berhenti mengambil langkah mundur. Aku memintanya untuk menunjukkan kertas itu padaku, tapi ia sangat menolaknya. Aku mendengar suara angin yang menerpa wajahnya dan pohon di samping kami, itu terdengar seperti lagu-lagu pelan yang hampir seperti digumamkan. Jadi, ia sepakat untuk memberi tahuku tentang puisinya—tidak untuk kertasnya.

"Aku berdiri di depan pohon dengan dara-Nya.

Aku bukanlah teman sampai akhir.

Aku melihat semua orang selamat dalam balik tirai jendela rumahnya.

Jangan melihat ke luar jendela, perang terjadi di balik pintu kami.

Aku harus segera tidur.

Aku mendengar cerita tentangnya.

Hidup sebagai teman yang baik untuknya.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku terhukum."

Ia memenggalkan sebuah kata—sebuah puisi—dengan artikulasi yang baik. Aku menafsirkan kembali setiap katanya. Intonasinya menyeruap pada pendengaranku.

Ia menarik kedua bahunya, "Aku membuatnya karena ingin, tapi sepertinya buruk."

"Asal kau tahu, itu sangat bagus!" kataku mengapresiasi. Aku kembali melihatnya tersenyum seperti saat di pondok rel kereta. Ia sangat menyukai puisi dan aku berharap bahwa ia adalah temanku yang hebat.

Ia melipat kembali kertasnya, membiarkanku untuk tidak melihat tulisan tangannya yang buruk. Walau begitu aku masih penasaran. Aku cukup pintar untuk tahu apa arti dari puisinya tadi.

"Muller," kataku. "Apa kau mengenal Sinclaire?"

Dia melihat ke arahku, wajahnya kembali mengingatkanku ketika ia duduk di taman dan memberi makan burung.

Dia melihat ke arahku, wajahnya kembali mengingatkanku ketika ia duduk di taman dan memberi makan burung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang