BAB 31: Untukku, Dua Tahun

206 23 13
                                    

Dari hari-hari yang kabur, penuh harap, dan masa kanak-kanakku. Histeria September memasok kesedihan. Masih di pemakaman yang sama. Mereka membawa memori ketika ibuku di makamkan dua tahun lalu. Aku yakin aku menangis ketika menarik tangan Sinclaire saat itu juga. Tangannya dingin. Seperti besi tua; engsel dari rumah hantu. Seperti orang-orang mati. Seketika duniaku seolah mati bersamanya.

"Ibuku, apa yang dia katakan padamu?" Pertanyaan itu memburunya.

"Noah, kau berdarah—"

"Dengarkan aku, kumohon." Aku melirik kecil pada darah di pergelangan bajuku dan aku mungkin sudah tidak waras untuk peduli. "Ibuku, hidupnya yang berarti hanya setimpal dua tahun untukku, dua tahun! Berapa tahun yang akan aku dapat lagi setelah Muller? Apa arti dua tahun lainnya bagiku dibandingkan mereka?"

Sinclaire masih diam membatu dan itu bahkan lebih berisik dari ocehannya setiap hari. Aku merasa seperti akan mengubur diriku sendiri di hadapannya. Melihat wajah itu menjadi gila karena kematian orang yang ia harapkan hidup selamanya, untuk menyenangkan hatiku yang aku sendiri tidak tahu untuk apa. Aku semakin menggenggamnya erat. Berharap ia memberi tahuku. Satu hal saja tidak masalah.

"Aku hampir menyelamatkanmu dua kali dan akan kulakukan lagi, sebanyak mungkin, setelah kau tua, bahkan setelah semua darahmu menetes kering seperti sahara," pungkasnya menekankan setiap kalimat.

Suaranya berhambur bersama kepakan burung gereja dan cabang pohon willow yang tumpang-tindih. Udara pemakaman terasa pengap, entah karena darah yang telah memenuhi hidungku atau sesuatu yang lebih buruk. Tatapannya langsung mengarah padaku. Mirip dengan padang musim panas, kayu betula, dan anak yang secerah matahari, Herrz Muller pernah mengatakan kalimat berartian mirip.

Mungkin kita berdua akan mati. Terdengar lebih baik, ketimbang meninggalkan salah satunya untuk hidup.

Gaun putihnya teralun hangat. Sinclaire memelukku erat. Membenamkan kepalanya di pundakku. Seperti anak kecil yang dipenuhi kesedihan karena teman dari kelas teaternya akan pergi. Mungkin dia memang anak kecil, yang menganggap dunia adalah karya seni rapuh, panggung drama di Vienna. Semua adalah karangan semrawut yang ditulis di meja makan. Andai itu memang benar.

Aku mengangkat kepalaku. Aku melihat seorang wanita bergaun hitam menyusuri jalan pemakaman seorang diri. Pria berjangut putih berjongkok di satu makam. Seorang suster menggandeng tangan anak-anak yang menangis. Tak ada satupun yang melihat ke sini dan tahu bahwa aku dipeluk oleh Kematian. Yang berbau seperti apel dan seindah barisan lampu.

"Tak selamanya bagiku." Aku tidak tahu kenapa aku mengatakannya. Suaraku berdengung selayaknya mantra. "Suatu hari kau tidak akan bisa menyelamatkanku lagi, dan aku tak akan pernah keluar dari kota ini seperti yang kau ceritakan. Kau, Sinclaire ...."

Kalimat terhenti. Darah bertemu tanah dataran sepi. Aku jatuh dengan napas gemetar. Kami berdua sama-sama menghantam tanah. Dadaku sangat sakit. Seakan sebuah bangunan baru saja roboh di dalamku. Jantungku menggedor setiap bagian rapuh untuk keluar. Aku tidak bisa bernapas. Air mataku mengalir di tepi tanpa dapat diketahui. Kematian sunyi.

Sinclaire melepaskan pelukan dan bangun. Meninggalkanku meringkuk di atas rumput sendirian. Matanya yang biru kehijauan menjalariku seperti jala di dasar danau. Menatapku hambar seperti malaikat maut yang tak sabar. Ia mengelus rambut di keningku. Keringatku yang dingin membanjiri telapaknya seperti air dari jambangan kuno. Ia tidak berkerut, tidak meratap, atau tidak bahagia.

Wajahnya mendekat. Bibirnya yang tipis dan ringan mengecup dahiku. Lama sehingga aku berpikir ia mampu melakukannya semalaman. Tak ada napas yang keluar dari hidungnya. Dia berkata serius, seperti penghakiman, "Dua tahun lalu. Jika maksudmu aku tidak bisa menyelamatkanmu, maka kau mati seperti ini di lantai kamarmu sendiri sejak lama."

Aku meraih tangannya. Menggeleng untuk membatah arti perkataannya. Langit bersinar di atas kesakitanku. Aku melihat langit; aku melihatnya dengan baik. Sinclaire, parasnya yang tak pernah lebih tua dari siapapun yang memijak makam. Seperti penyihir yang bersembunyi di hutan dengan perlintasan kereta api. Bersudut di sisiku bagai gagak dengan langkah darah di atas sebuah bangkai.

"A-aku telah mati, tak peduli apa. Hari ini atau dua tahun lalu." Aku memanjat pundaknya. Mendekatkan kami, hingga setiap kata dapat menyeruaki Sinclaire. "Mereka adalah seluruh ceritaku, tetapi aku hanya menjadi beberapa halaman. Buku itu tak pernah selesai dan hilang di jembatan—"

"Herrz Muller mengambilnya untukmu."

"Aku akan mencari dia! Apa yang membuatmu percaya Muller mau melakukannya untukku?" sahutku, dalam kesedihan yang menyakitkan yang tidak pernah berakhir.

Seketika hening terjaga lama. Sinclaire dengan pelan melihat ke bawah. Tepat aku mati untuk kedua kali, dia menggengam lenganku, dan menghidupkan kembali ekspresi dari orang yang akan hidup selamanya. "Horatio lebih suka menusuk dirinya sendiri selama Hamlet sekarat. Karena Hamlet adalah temannya. Terbaik dari yang bisa dia pikir. Apa maksudmu Muller tidak mau melakukannya untukmu?"

Ya, tentu saja, apa artinya menjadi seorang Romawi ketika kau tidak bisa menyelamatkan sahabatmu. Berada di dusun sampai mati sama saja seperti di lautan nisan di pemakaman yang bau. Dan di sana ibuku. Jika Herrz Muller mau mati atas nama temannya. Apa yang ibuku dapat katakan pada Kematian? Hingga di sinilah kami.

Aku tidak bisa bangun dan terus terpaku pada batu kuburan ibuku. Setiap ukir perkata namanya terasa seperti memakiku dari sini. Tak ada yang tersisa untuk kurasakan selain genggaman tangan Sinclaire dan air mata di ujung muka. Rasa sakit di tubuhku menguburku untuk tidur di atas rumput sendirian.

Sekarang, ketika aku kembali pada malam lainnya, menyusuri jembatan dengan lampu remang, atau melewati tangga kayu berdecit, itu tidak akan sama lagi. Itu tidak sedikit pun menyenangkan, tidak seperti memasuki pondok puisi untuk pertama kali. Itu adalah tragedi, manis dan pahit.

Sekarang, jika aku akan mati di akhir cerita, aku akan mengingat hari ini dengan jelas.

Sekarang, jika aku akan mati di akhir cerita, aku akan mengingat hari ini dengan jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang