BAB 14 : Jendela

416 90 93
                                    

Sesuatu menjadi sangat menarik saat aku terbangun di kursi. Mengingat memoar kecil tentang rahasia anak-anak yang berharap seseorang berdiri di depan pintunya. Kemudian aku mengingat buku ceritanya. Sesuatu yang sempat tersisih setengah menit. Aku tidak ingat bagian mana yang telah kubaca, bahkan tak ada yang menandai akhirnya.

Sesuatu menarikku untuk terjaga—entah karena sudah terlalu pagi atau haus telah menguasai. Aku menengadah, hal lain kembali menarikku untuk meneliti sesuatu di luar jendela.  Mataku terbuka dan sepenuhnya terbangun saat suara jendela pecah menyeruak di udara. Sang tuan rumah melontarkan sumpah serapah pada kumpulan anak yang gemar bermain bola di ladang.

Beberapa dari mereka acuh, membiarkan sang tuan rumah semakin naik pitam dan beberapa nyonya menghakimi mereka dengan tatapan kejinya. Aku terkejut dan melihat anak-anak itu pergi saling mendahului.

Anak-anak itu berlari dan tertawa atas ketidaksengajaan merusuh di pagi hari. Aku mencoba memahami selera humor beberapa anak yang tidak pernah kumiliki. Entah kapan mereka akan berhenti dan membiarkan pengasuh mereka tenang.

Seorang anak dari kumpulan di sana melirikku di jendela kamar, ia masih tertawa dan mengangkat tangannya menyapa sambil terus berlari. "Selamat pagi, Noah."

Aku membalas keramahannya yang menyapaku, mengangkat tanganku dan tersenyum kaku memihak. "Selamat pagi juga untuk hari beruntung kalian."

Aku melihat mereka menjauh bersamaan dengan kerusuhan pagi ini. Seketika semua kembali pada kisah awal tentang pagi musim semi. Suara sepeda yang dikayuh, engsel pagar sebuah tanah ladang, dan pohon magnolia yang tumbuh hampir memasuki jendela kamarku.

Aku tersenyum dan menarik tirai jendela untuk membukanya semakin lebar. Saat itu, tanpa sengaja tanganku mengenai apel di atas meja sehingga menimbulkan suara apel yang menggelinding. Oh! Aku kembali teringat dengan apel yang ayah berikan semalam, dan ada pesan yang ditinggalkan.

Sang pemberi surat pastilah orang yang membuat seluruh peraturan rumah, tapi selalu meninggalkan pesannya tanpa nama. Tentu, aku tahu bahwa ayah yang meninggalkan pesannya, ia berpikir untuk tidak perlu bersusah payah menulis namanya sendiri di kertas pesan. Sepertinya pesan singkat adalah hal penting baginya.

"Makan malam belum menarik perhatianmu?"

Aku terdiam. Aku mulai teringat akan sesuatu yang tidak menarik bagiku, itu seperti penghakiman yang salah pada diriku yang sedikit kacau. Benar, mungkin makan malam dan mengikuti aturan rumah belum menjadi sesuatu yang menarik. Sepertinya memecahkan kaca tetanggamu adalah cara untuk memberi tahu bila kau tidak setuju dengan mereka.

Tiba-tiba sesuatu menarikku untuk menaruh perhatian pada hal di lantai bawah. Menuruni tangga dan berjalan selagi suara klasik menyisihkan kesunyian. Suaranya terdengar familiar dan berulang, itu adalah suara gramophone milik ayah di ruangannya.

Seorang yang terhormat di rumah ini membelinya dan meminta pendapatku apakah suaranya terdengar klasik. Sebaliknya, bagiku beberapa piring hitam di lemarinya terdengar mengerikan. Aku tidak suka bagaimana beberapa komposisi lagu dimainkan dengan berantakan. Kemudian, aku mulai bertanya mengenai kualitas musik di masa lalu.

Aku menuruni tangga dan benar saja, bahwa tuan rumah ini meninggalkan piring hitam yang masih berputar di ruangannya—beserta pintu ruangan yang terbuka. Entah apakah itu adalah kegemaran barunya yang tidak biasa atau ia berusaha meninggalkan petunjuk akan kertas pesannya. Ayah meninggalkan pesannya lagi di meja yang sama dengan gramophone. Tentu saja, sebuah kertas catatan kecil tanpa nama.

"Bagaimana kalau sarapan pagimu?"

Aku melirik ke arah meja makan tepat di luar ruangan. Tepatnya pada sepiring salad dan apel strudel. Begitupun tidak ada yang menarik dari salad buatannya. Daripada semua itu, ayah menaruh beberapa apel yang sama dengan semalam. Oh, aku berharap jika itu semua benar-benar apel dari ayah.

Aku mendekati meja. Mengambil sebuah apel dan memainkannya dengan sedikit melemparnya ke atas. Aku memakan apelnya utuh dan duduk di kursi. Dulu, ibu mungkin akan memintaku menunggu selagi ia memotong apel untuk dimakan—itu termasuk salah satu peraturan resminya. Mungkin Sinclaire yang membuatku berpikir memakan apel utuh secara langsung bukan masalah lagi.

Itu sedikit mengingatkanku dengan Sinclaire yang memiliki obsesi khusus terhadap segala hal. Jika aku setakut itu padanya maka membakar buku cerita yang masih berada di meja kamarku terdengar menarik. Apa ia marah karena teman mainnya ini pergi dengan si pemberi makaroni yang ramah? Lucu sekali. Itu hampir tak terdengar seperti Sinclaire yang berambisi.

Ketika sekelilingku kembali menjadi sepi, suara lonceng kecil menjadi sesuatu yang menarik untuk pendengaran yang gemar membuntuti suara. Aku melihat ke belakang, mencoba mencari asal kekhawatiranku. Itu membuatku menarik ucapan bila aku sedikit merindukan Sinclaire.

Sebuah kertas diikat bersama bel kecil terjatuh di bawah pintu, satu-satunya pintu bagi orang-orang rumah untuk keluar. Aku melihat satu catatan lagi. Catatan itu diikat dengan benang tipis di kenop pintu. Aku datang dan menarik catatan itu dari ikatannya. Mungkinkah ini pesan ketiga ayah hari ini?

"Tetap berada di rumah tuan serba benar, aku juga memeriksa karpet kaki di luar pintu. Ayah." Tulisnya dalam catatan.

Aku mengangkat satu alisku. Ini aneh dan sama sekali tidak benar. Itu bukan catatan ketiga ayah. Aku memutar kenop pintu, terkunci! Apa ini dikunci dari luar? Oh, yang benar saja anak itu!

"Sinclaire!" keluhku. Oh, tentu saja! Aku tahu ini adalah pekerjaan kotornya. Apa ia sungguh tidak suka temannya ini bertemu dengan si pemberi makaroni? Apapun motifnya—termasuk tentang kematian yang gemar ia bahas—tetap saja ini adalah pekerjaan kotor yang tidak sebanding.

Aku membuat keluhan pribadi atas tindakannya yang tidak terhormat. Mungkin bermain-main dengan alat tulisku sudah tidak menarik perhatiannya lagi.

"Merindukanku?" Suara familiar itu terdengar bersemangat.

Aku melihat ke belakang dan cukup yakin seseorang berada di belakangku. Aku melihat wajah Sinclaire yang tersenyum padaku. Masih dengan keagunggan seorang intelektual. Wajah keinginan akan lampu sorot, apresiasi! Seseorang dengan senyum angkuh dan bersahabat. Ia selalu ingin sekali sorot terakhir.

"Kau!"

Ia kemudian berlari. Menarik keenggananku untuk kembali bermain peran antagonis yang seakan-akan setengah mati membenci pemeran utama. Tentu saja, bukan kebencian sebesar itu yang pantas ia terima. Oh, dia benar-benar seorang jenius nakal yang menjadikan rumah terhormat ini panggung dramanya. Apa begini caranya berpikir aku merindukannya?

Ia berlari ke lantai dua dan menarikku dengan suaranya. Ia masuk ke kamarku dengan cepat, menutupnya tanpa meninggalkan suara pintu terkunci dari dalam. Itu menyisahkan harapan untuk antagonis ini menangkapnya. Aku berjalan lambat dan senyap. Membuka daun pintu dengan cepat dan berekspresi seakan menemukannya.

Aku melihat ke dalam. Tidak ada siapapun.

Aku berhenti. Hanya ada buku cerita yang tak usai sampai akhir di atas meja. Angin membolak-balikkan kertas buku dan membuat kesalahan atas halaman yang tidak beraturan. Sekarang, buku cerita itu terbuka pada sub judul kedua.

Hansel Dan Temannya.

Hansel Dan Temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang