BAB 33: Dusta Thespian

212 20 7
                                    

Kami dulu suka berbicara hingga dadaku sesak. Kami telah berbicara tentang surat Herrz Muller yang mendesis seperti Rilke. Sinclaire bilang ia membenci caraku berjalan. Aku selalu benci ketika kami menjadi dramatis seperti tengah bersandiwara dengan hati Shakespeare.

Karena itu pikiranku membusuk sekali lagi ketika melihatnya menangis pagi ini. Ketika aku dan ayah kembali dari makan siang, gadis itu masih tinggal di peron untuk suatu periode tanpa dasar. Sinclaire berdiri seperti hantu, ketika ia biasa berekspresi selayaknya Homer—merangkak keluar dari bait-bait omong kosong.

Ayah mengatakan tidak akan naik trem karena orang-orang tua suka mengutuk. Dia benar. Seorang wanita dengan terusan tunik telah membakar cerutu tembakau di peron. Asapnya menggantung di pelataran dan orang-orang malah bergurau di belakang, tak satupun dari mereka peduli akan mengutuknya.

Seperti orang tua, aku menggumamkan satu atau dua kata sebelum napasku terpancung. Udara begitu payah dan mataku berair dan perih. Aku mulai batuk beberapa kali. Ayah pergi untuk tiket dan aku tidak memiliki tujuan selain menunggunya di peron.

Tak jauh dariku Sinclaire telah menggambar abjad di tanah dengan jarinya, seperti peringatan bahwa tangannya telah penuh dan tidak ingin diganggu. Aku sadar parasnya memerah karena kesedihan. Itu seperti melihat Nietzsche yang gila menjadi waras untuk pertama kalinya.

"Apa aku mengganggumu?" katanya tanpa melihatku, aku hampir mengira dia berbicara dengan tiang di sampingnya barang sedetik.

"Apa?"

"Ya, Nietzsche pernah waras sekurangnya sekali. Aku juga sama." Ia berhenti sebentar dan melihatku dengan kesungguhan. Aku lupa percakapan kami tidak selesai hari ini.

Dadaku terasa sakit sebentar. Aku tidak ingin meladeni kenihilannya, tapi itu membuatku penasaran. Apakah sebuah kematian telah melukainya baru-baru ini. Sayangnya, itu bukan berarti ia menyesal pada kematian ibuku. Ia akan melakukan apapun agar aku tetap hidup. Bahkan meski harus mengisi liang lahatku dengan seluruh orang.

Apa dasarnya? Aku tidak tahu. Mungkin apa yang membuat kematian menjadi indah dan penuh puisi adalah karena kita hanya akan mengalaminya sekali. Kita tidak akan bergulir di tanah yang sama dua kali. Sekarat di kasur yang sama berkali-kali. Itulah mengapa Sinclaire tidak pernah muak. Tapi meratap? Itu adalah sesuatu yang tak pernah ia lakukan.

Tidak sampai hari ini. Pagi ini dia menangis dan membuat dirinya menjadi bagian dari para dramatis Thespian. Sinclaire bertindak seolah tak tahu arah bicara orang-orang. Sekarang asap cerutu itu menindasku dan aku menolak untuk meladeninya. Kami menjadi pasif seperti hantu. Bahkan gerbong tua di depan kami berbicara lebih fasih.

"Dia yang menulis buku ceritanya sekarang." katanya hampir-hampir tak terdengar. "Apa kau akan takut jika aku mengatakan Herrz Muller mungkin berbohong padamu?"

Tak ada balasan. Aku merasa Herrz Muller sendiri bahkan pernah menanyakan hal serupa. Entah sejak kapan itu mulai terdengar dilebih-lebihkan, seperti sajak penghianatan Judas. Seorang pria bergigi gila pasti akan mengumakan kata 'kebenaran', ketika Carl Max yang paling waras mengatakannya sebagai kebohongan.

Sinclaire tertawa terbahak-bahak seolah ia membaca monologku di kepalanya. "Temanku, kau tidak akan takut sampai itu membunuhmu. Kebohongan adalah yang membunuh setengah orang Yunani. Shakespeare tidak akan terkenal andai semua tokohnya mati karena kebenaran. Mengisap ke hakekat, tulang, kebohongan itu menyenangkan dalam puisi. Karena seseorang berbohong Hamlet di luar sana mungkin telah mati lebih tragis."

Ia memandangku, hingga parasnya kembali tak beremosi. Sesuatu di dalamnya telah merampok dunia. Aku berpikir jika aku pernah tidur di peti mati, tanpa melakukan apapun selain melihat ke langit-langit yang mirip dengannya, kurang lebih aku akan menjadi gila atau bersyukur.

Sebentar orang-orang menabrak satu sama lain dan jam menunjukkan lewat tengah hari. Asap cerutu telah mengisi paru-paruku dan kukatakan aku harus pergi. Tapi ia lantas menahan tanganku. Sesuatu membuatnya tidak puas karena aku hanya menjadi pendengar. Ia ingin moderator yang berisik, berpikir aku bisa mendebatkan arah kepalanya yang kacau.

"Jika aku adalah Hamlet aku akan membiarkan Horatio mati untukku." Aku menimpali tak sabar. "Dia bisa meregang nyawa di sebelah Hamlet—seperti yang selalu dia inginkan—tapi aku tidak keberatan andai ia meninggalkan Hamlet mati sendirian."

"Jadi, kau takut."

"Tidak!"

"Mati sendirian; itu sungguh tidak akan menganggumu?" katanya mengulang narasiku. Ia tidak berbicara mengenai Hamlet.

Sinclaire mengangguk mengartikan sesuatu. Sesuatu yang menenggukku dengan teror dan keabsahan dunia. Lewat jari tangannya, bagai akar-akar asing, aku merasakan kematian lebih dari bibirnya yang merah. Oh, aku jadi teringat surat-suratku yang tak terbalas, entah karena penyesalan atau itu hanya keengganan absurd dari sang penerima. Dengan pelan aku menggeleng dan wajah Sinclaire menunjukkan sedikit kekecewaan.

Tapi gagasan itu membuat tanganku bergetar. Kematian mungkin terdengar seperti kutukan benda-benda seni. Seperti ketika kau adalah lukisan—yang berdosa dan mati—milik Dorian Gray, dan aku akan baik-baik saja, pikirku. Tapi kalimat itu keluar dengan kegusaran yang absolut, "Jadi, Herrz Muller tidak akan menolongku."

Tak ada balasan. Kami terjebak. Kami terjebak pada satu momen yang terus menentukan sisa hidupku. Kehilangan seorang teman, kehilangan harapan soal hidup, oh, begitu menawannya. Akan menghantui selamanya.

Kesepian telah memaksa kami untuk terjaga melihat lurus ke depan. Di antara jendela menonton gerbong. Mereka didominasi oleh para pesolek Berlin yang berjalan menuntun, seperti melewati oasis, atau jurang maut. Aku yakin salah satu dari mereka begitu segar diingatanku.

Itu kembali seperti angin sore ketika salah seorang di gerbong telah mengingatkanku pada hari-hari aneh ketika aku demam di pondok kereta api. Rambutnya seperti matahari yang dilukis cat air pudar. Menembus di antara topi priyayi. Kami telah berpapasan melalui jendela kuning.

Hari besar telah mengubur dirinya. Dia tak terlihat lebih dari sekadar anak laki-laki, tapi lebih seperti seorang teman lama. Karena terkejut, ia berhenti di dalam gerbong dan melihatku begitu lama, seolah-olah aku telah merangkak dari liang lahat dan menghantui ingatannya.

"Tapi kita bukan Thespian milik Shakespeare," kata gadis itu sebelum melepas tanganku. "Kau bisa menghampiri penulismu, atau kau tetep di sini dan memainkan sandiwaranya hingga mati."

Yes, My blondie boy back to the teather Uwo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yes, My blondie boy back to the teather Uwo

SinclaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang