16. Sebuah Kontrak

56 25 13
                                    

Setelah percakapan mereka yang bisa dibilang cukup mendebarkan—AH TIDAK! MAKSUDNYA SANGAT MENDEBARKAN. Abel bergerak kabur untuk menghindari Aga yang berpotensi membuat jantungnya bukan lagi mandeg tapi ✨raib✨.

Entah sudah berapa jam Abel berdiam diri di kamarnya. Mengotak-atik kamera dan tripod untuk menghilangkan rasa bosan dan rasa gugup yang masih saja ada.

Hiks. Aga terlalu ber-damage.

Mungkin Aga di bawah juga tidak kalah gugupnya dengan Abel. Buktinya cowok itu tidak menghubunginya sekalipun. Bertanya apakah dirinya baik-baik saja, atau apakah dirinya sudah sadar?

Abel menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa-apaan ini? Dia berharap si Aga itu menghubunginya?! JINJJA?!

NEHI! Abel tidak mungkin seperti itu.

Abel menarik napasnya lalu menahannya baru kemudian menghembuskannya perlahan. Begitu seterusnya.

"Kalem Bel, kalem. Aga gausah Lo pikirin, kalemin aja pokonya. Oke?" Monolog Abel.

"Terlepas dari alasan kenapa kita menikah, gue serius pengen hidup sama Lo."

"ASTAGHFIRULLAH...!! AGA EMANG MERESAHKAN!!!" Teriaknya lantang saat sekelebatan memori lewat di otaknya.

"ABEL? LO NGGAK APA-APA?"

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan keras menimbulkan suara brak yang begitu dramatis. Abel yang tubuhnya terpaku dengan gerakan ala-ala slow motion menengok ke belakang.

"Eh, Aga. Hehehe nggak apa-apa kok," cengirnya dengan gestur malu-malu kalau sampai Aga dapat mendengar apa yang ia teriakan tadi—Aga mengernyit heran.

"Ngapain tadi teriak?" Tanyanya.

Abel gelagapan. Serius Aga tidak mendengar apa yang dia teriakan tadi? Abel harap begitu. Bukan apa-apa, tapi kalau sampai Aga mendengarnya bisa-bisa cowok itu langsung terbang ke awang-awang tahu bahwa ternyata pengaruhnya sangat besar untuk Abel.

OH TIDAK BISA!!

"Oh! Eh, ini.. nggaaak cuma tadi ada kecoa terbang. Kaget gue nya, tapi tadi udah ilang kok—cling begitu—ilang deh, hehe," tutur Abel dengan kikuk.

Aga masih dengan wajah herannya hanya mengedikkan bahunya. Tingkah Abel jadi aneh.

"Oh yaudah, gue pikir ada apaan. Gue keluar dulu," pamitnya.

Abel mengangguk cepat-cepat. Dia menghela napasnya lega saat pintu kamarnya sudah tertutup. Tubuh Abel luruh ke lantai dan bersandar di pintu. Dia tidak yakin nanti jantungnya akan baik-baik saja kalau Aga tetap di kamarnya. Berdekatan dengan cowok itu untuk saat ini sangat ✨meresahkan✨. Dia harus ambil jarak aman mulai sekarang.

Di luar sana Aga masih berdiri di depan kamar Abel. Dia menengadahkan kepalanya seraya menghela napas kasar.

Apa yang baru saja ia lakukan? Menguping di balik pintu kamar Abel, mendengarkan semua teriakan Abel yang bertujuan untuknya, lalu dengan sok pahlawan dan sok perhatiannya dia datang pakai drama pura-pura kaget.

Demi apapun, itu sangatlah bukan dirinya.

Kemudian sebuah pikiran penuh aura positif datang menghampiri otaknya.

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang