21. Sebuah Penjelasan

49 8 5
                                    

     Abel mengambil termometer dari mulut Aga saat benda kecil itu berbunyi. 37⁰C. Abel menghela napas lega saat melihat angka di layar kecil itu semakin menurun. Mungkin beberapa saat lagi Aga sudah bisa beraktivitas seperti biasa.

Baru saja hendak beranjak keluar, tangannya tiba-tiba dicekal oleh sebuah tangan yang Abel yakini tentu saja milik Aga.

"Kemana?" Tanya cowok itu dengan mata yang sedikit terbuka dan suara yang masih parau.

Abel berdehem sebentar. "Mau keluar lah," balasnya.

"Di sini aja. Gue mau ngomong bentar."

Abel mengembuskan napas beratnya. Dia sudah tahu apa yang akan Aga bicarakan, dan Abel tidak mau mendengarnya. "Gue nggak bisa, mau ngerjain tugas."

"Itu bisa nanti, ini penting."

"Emang mau ngomongin apa?"

Aga beranjak duduk dengan perlahan, lantas bersandar di headboard. Tangan besarnya kemudian mengambil tangan mungil Abel untuk ia genggam.

Abel mencoba untuk melepaskan tangannya dari tangan Aga. Namun, itu terlalu sulit karena Aga yang semakin menggenggamnya erat.

"Gue minta maaf, Bel," lirih Aga.

Abel membuang pandangannya ke arah samping, tidak mau menatap cowok itu yang kini tengah menatapnya begitu lekat. Bisakah, bisakah untuk tidak meminta maaf seperti itu? Abel tidak butuh maaf dari Aga, karena bagaimanapun juga dirinya ikut salah dalam masalah mereka. Abel hanya membutuhkan penjelasan Aga mengenai siapa perempuan yang begitu mengusik dirinya.

"Bel," panggil Aga dengan suara lembut sembari menyentuh dagu gadis itu dan mengarahkan ke arahnya. "Maaf."

Abel menatap Aga dengan pandangan penuh luka. Dengan suara bergetar Abel bertanya pada Aga, "siapa?"

Alis Aga terangkat sebelah, dia terlihat bingung dengan pertanyaan Abel. "Siapa? Maksudnya?" Tanyanya.

"Siapa, siapa perempuan itu, Ga?" Tanya Abel dengan suara lirih penuh kesakitan.

"Perempuan, perempuan siapa, Bel? Gue nggak paham," balas Aga yang terlihat semakin bingung dengan pertanyaan gadis di depannya.

Abel mendongak ke atas untuk menahan laju air mata yang akan tumpah dari pelupuknya. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah yang terlihat semakin merah padam itu.

"Perempuan, Ga, perempuan! Perempuan yang Lo ajak ke rumah waktu Lo mabok malem itu!" Pekik Abel dengan suara yang melengking penuh rasa marah.

Aga tercenung sebentar sebelum dia hendak menjawab, tetapi suara dering telepon miliknya berbunyi. Aga segera menjawab panggilan telepon tersebut.

"Aga!! Katanya kamu sakit, kenapa sih emang? Udah dibilang jangan suka aneh-aneh juga ihh maneh mah!"

Mata Abel membulat terkejut. Suara itu. Suara itu adalah suara perempuan yang ia dengar di telepon Aga kemarin. Dengan sekuat tenaga gadis itu menyentak tangan Aga hingga terlepas dari tangannya, lalu berlari keluar kamar dengan air mata yang sudah banjir membasahi pipinya.

"Abel!" Panggilnya dengan suara keras. Dia terkejut melihat Abel yang tiba-tiba pergi begitu saja.

"Entar gue telepon lagi," ucap Aga dengan cepat.

"Mau nyamperin Abel, ya?"

Aga tak menjawab, dia langsung saja mematikan panggilan tersebut. Kemudian dengan cepat dia beranjak keluar kamar dan berlari menuju kamar Abel. Rasa pening dan lemas yang masih bersarang tak ia hiraukan.

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang