"Aga! Satu tambah satu sama dengan?"
"Dua lah Abeeell.."
"Salah."
Aga mengangkat kepalanya dengan kening berkerut. Kini, soal kimia yang ada di hadapannya sudah tak menarik lagi baginya. Mendengar perkataan Abel membuat jiwa olimpiadenya bangkit.
"Lah? Lo gak lulus Tadika Mesra ya?"
Abel mencebikan bibirnya, "lulus lah, nggak sih.. nggak SMA gue? Ishh balik ke topik! Napa jadi ngomongin Tadika sih? Lo kangen sama Melati?"
Aga menghela napas pelan, "ya terus apa?"
Abel tersenyum sumringah. "Jadi jawabannya adalah.. jeng! Jjeng! Jendela!" Setelah itu ia bertepuk tangan dengan riang.
"Kebanyakan main sama Azka Lo ya? Koslet begini," ujar Aga, lalu kembali berkutat dengan rumus kimia. Yang membuat perut Abel mual ketika melihatnya.
Tawa Abel pecah mendengar itu, selalu saja sahabatnya—yang sebenarnya tak bersalah itu—jadi alasan kemunduran otak teman-teman sekelasnya, tak terkecuali dirinya.
Masih dengan tawanya, Abel berkata, "kasian tau ih Ga, dia lagi sakit. Lo mah nistain dia mulu."
Aga tertawa lalu kembali mendongak menatap Abel yang ada di depannya. Si Jago Kimia itu lantas menarik Abel untuk duduk di sampingnya.
"Ya lagian tu anak banyak tingkah, sok-sokan mau loncat lagi dari lantai dua. Akhirnya kan jatuh juga, hahaha."
Abel ikut tertawa, bahkan lebih keras dari sebelumnya. "Sumpah! Dia tuh kenapa goblok banget sih? Monangis kan jadinya. HAHAHA."
Keduanya larut dalam tawa yang mereka ciptakan. Bercerita—lebih tepatnya menceritakan betapa tidak ngotak-nya salah satu teman mereka, yaa halusnya sih menistakan.
Untuk kedua kalinya soal kimia itu tak tidak menarik untuk dilihat, apalagi dikerjakan.
"Terus-terus kakinya patah nggak?" Tanya Aga masih dengan tawa-tawa kecil.
Abel berusaha menghentikan tawanya. Mukanya bahkan sudah terlihat merah, dan ada buliran air di pelupuk matanya.
"Ishh nggak lah, cuma retak doang tulangnya. Kata Tante Hana sih begitu."
"Buset 'cuma'?! Lo ngomong gitu berasa udah master aja Bel?"
"Ihh nggak gituuu, ya maksudnya tuh retak tulangnya gituuu, paham gak sih gue ngomong?" Abel berujar kesal.
Tangan Aga terangkat untuk mengelus puncak kepala Abel, "iya-iya paham kok."
Saat ini keduanya tengah berada di kamar Aga. Abel yang entah kesambet apa tiba-tiba datang dan malah merecoki kegiatan belajar Aga malam ini.
Abel mencebikan bibirnya. Gadis itu kemudian meluruskan pandangannya ke depan, menatap rangkaian kata dan angka di buku Aga. Sekali lagi, Abel mencebikan bibirnya kesal.
Ia heran, kenapa Aga sangat rajin sekali mempelajari bab-bab yang belum saatnya mereka pelajari? Hei! Abel saja untuk mempelajari materi yang sekarang sangatlah malas.
Kadang Abel berpikir kalau dulu saat Bundanya mengandung Aga, beliau mengidam tabel periodik untuk jadi menu makannya. Bisa saja kan?
"Ga.. Ga.. kok Lo rajin banget sih jadi manusia? Apaan nih? Benzena? Woi! Kita tuh masih di Senyawa Turunan Alkana bebiiiii.... Lo kok loncat jauh amat sih?" Celetuk Abel sembari membolak-balikkan buku catatan milik Aga, dengan mukanya yang menampakkan ketidakpercayaan.
Karena baginya, cowok seperti Aga itu langka, limited edition bebquhh. Jarang sekali Abel menemukan cowok serajin dan se-nggak ada kerjaan seperti Aga.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
RomancePERINGATAN!! MEMBACA CERITA INI AKAN MEMBUAT KALIAN TAU APA ITU ✨𝓚𝓮𝓼𝓪𝓫𝓪𝓻𝓪𝓷✨ Abel pikir hidupnya akan baik-baik saja ketika orang tuanya pergi ke London. Ia pikir jika dirinya tinggal sendirian dirinya akan bebas dari tuntutan orang tuanya. ...