Abel menghempaskan tubuhnya ke kasur yang ada di kamar barunya itu—setelah selesai membersihkan diri dan berganti dengan piama, tadi di kamar mandi yang ada di samping kamarnya.
Menghela napasnya penuh kelelahan setelah berhasil melewati hari yang penuh cobaan ini. Dia menatap ke arah langit-langit kamar yang berwarna baby blue, lalu berpindah menatap sekelilingnya. Kamar yang mungkin berukuran empat kali empat meter—jauh lebih kecil dari ukuran kamarnya yang ada di rumah orangtuanya. Kamar yang sudah lengkap dengan single bed dan lemari baju yang digabung menjadi satu dengan meja rias.
Rumahnya ini sudah lengkap dengan furniture, dan hal itu membuat Abel heran. Mereka kan baru saja menikah dan langsung mendapatkan rumah.
Mengingat fakta bahwa dirinya sudah menikah membuat Abel ingin menangis. Sungguh demi apapun Abel tidak menginginkan pernikahan ini. Batinnya menyerukan ribuan kata untuk menyampaikan betapa tidak adilnya keadaan untuknya.
Dia bahkan masih tujuh belas tahun, dapat KTP baru kemarin-kemarin. Dia masih terlalu muda untuk menikah. Ditambah ini pernikahan yang sama sekali tidak bisa ia terima. Dusta bila Abel menerima pernikahan ini dengan sepenuh hati—setengah hati deh, kalau sepenuh hati kebanyakan.
Dan lagi, kenapa harus Aga?
Sejak Abel masuk SMA Cinta Damai dan melihat cowok itu yang duduk di bangku pojok belakang, Abel sudah memiliki firasat kalau cowok itu akan membawa ke-bangke-an untuk dirinya.
Dan terbukti dulu saat Abel tahu kalau Aga itu Si Mulut Pedas. Walau jarang berbicara pada teman yang lain kecuali Faran—teman sebangkunya, tapi kalau sekalinya bicara itu terkadang membuat yang mendengarnya berkeinginan untuk mendepaknya dari tanah Cinta Damai.
Tapi sialnya AGA ITU PANDAI!!
Dengan wajah datar—terkadang tengil juga—dan mulut sepedas omongan emak-emak komplek, cowok itu adalah salah satu pemenang lomba OSN IPA Tingkat Nasional di SMP-nya dulu.
Dan itu terbawa sampai SMA, Aga bahkan mengikuti seleksi OSN Kimia. Hal itu membuatnya menjadi incaran teman sekelas untuk mendapatkan jawaban PR mereka, walau pada akhirnya gagal karena tidak ada yang berani meminta padanya.
Sialan memang!
Lebih sial lagi karena sekarang Abel adalah istrinya. Apakah dirinya sanggup melihat Aga dengan wajah dinginnya berucap pedas padanya nanti? Walau kalau Abel lihat lagi ke belakang cowok itu lebih berekspresi, tapi tittle tengil dan bermulut pedas yang ada pada cowok itu tidak hilang bahkan tidak memudar sepersen pun.
Setelah dirasa cukup menghujat Aga, Abel duduk bersila di atas ranjangnya, dia bingung harus melakukan apa sekarang? Biasanya kalau di rumah Abel sedang makan malam bersama orangtuanya, lalu dilanjut menonton tv bersama dengan diselimuti canda tawa.
Tapi sekarang? Bahkan hasrat untuk keluar kamar saja tidak ada di benaknya. Dia malas kalau harus bertemu dengan Aga.
Arghh!! Mengingat Aga membuatnya mengingat lagi betapa bangke-nya cowok itu.
Aishh jinjja?!
Lagi-lagi Abel rasanya ingin menangis—bahkan lebih kencang. "Kenapa harus Aga, Ya Allah? Hamba pengennya Renjun bukan Aga, wae? Andwae?!" Adunya.
"Coba aja kalo gue dijodohinnya sama Renjun, auto pingsan gue pasti. Eh tapi kok malah dapetnya si Aga, yang kalo baru liat mukanya aja udah pengen gue goreng!" Sembur Abel dengan mata berapi-api, "astaghfirullah.. kok mulut gue lancar banget kalo buat ngehujat orang?" Keluhnya prihatin.
Memang benar kata orang-orang, ekspektasi vs realita tidak akan menang.
Abel kembali merebahkan tubuhnya, gadis itu mengangkat tangan kanannya, melihat tepat dijari manisnya. Disitu ada cincin pernikahannya dengan Aga. Berwarna silver mengkilap, dengan sedikit aksen ukiran di dalamnya. Cantik. Sangat cantik. Saking cantiknya hingga Abel berpikir untuk menjualnya. Bukan jahat, tapi jiwa-jiwa mata duitannya tengah bergejolak, menggedor-gedor logika, meruntuhkan kewarasan hati—bisa-bisanya cincin nikah dijual hanya karena sang mempelai wanita tidak like dengan pernikahannya, apa kata dunia nanti?
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
RomancePERINGATAN!! MEMBACA CERITA INI AKAN MEMBUAT KALIAN TAU APA ITU ✨𝓚𝓮𝓼𝓪𝓫𝓪𝓻𝓪𝓷✨ Abel pikir hidupnya akan baik-baik saja ketika orang tuanya pergi ke London. Ia pikir jika dirinya tinggal sendirian dirinya akan bebas dari tuntutan orang tuanya. ...