20. Haruskah Kita Saling Mengucapkan Selamat Tinggal?

25 7 4
                                    

     Akhir minggu yang penuh kelabu telah usai. Jumpa lagi dengan Senin yang membawa sejuta rasa malas dalam hati. Hari baru. Minggu baru. Perasaan baru-

Ah! Tidak berlaku pada Abel.

Perasaannya masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sangat kelabu. Feel blue. Abel masih dapat merasakan betapa sakit hatinya kala mengingat kembali memori di hari itu. Seharusnya Abel bisa untuk tidak mengingatnya lagi-tetapi, apa iya? Apakah Abel bisa mengabaikan begitu saja?

Tidak.

Sekuat apapun usahanya untuk mencoba mengabaikan, hasilnya tetap nihil. Ditambah lagi dengan fakta bahwa dia satu atap dengan sumber rasa sakitnya. Mencoba untuk pergi bukanlah suatu solusi, Abel tidak ingin masalah di dalam rumahnya tercium oleh orang luar. Dia masih ingat sekali ucapan mamanya saat ia menelepon beberapa hari yang lalu.

"Abel, mama tau banget ini nggak mudah buat Abel. Dipaksa untuk menjalani kehidupan baru, bersama orang baru-mama yakin sekali kamu dengan Aga bahkan di sekolah nggak akrab, 'kan? Sejujurnya, dalam lubuk hati mama pun, mama merasa sangat bersalah sama kamu, nak. Mama nggak tega harus membayangkan kamu sekecil ini sudah memiliki tanggung jawab besar.

"But, Bel, janji adalah janji. Mama emang belum tau apakah kalian sudah mendapatkan masalah dalam pernikahan kalian atau belum. Diibaratkan, pernikahan itu adalah sebuah jalan. Kalian-kamu sama Aga tengah melewatinya sambil bergandengan tangan. Batu atau rintangan lain bisa saja berada di depan kamu atau Aga-atau bahkan di depan kalian berdua. Saling menyalahkan dan menghakimi bukanlah solusi yang bijak.

"Abel boleh saja tersandung dan jatuh karena batu itu, tapi hal itu jangan sampai membuat Abel berpikir untuk tidak akan lagi melewati jalannya. Ingat nak, tangan kalian masih saling menggenggam, Aga masih bisa membantumu berdiri. Dan kalau yang jatuh itu kalian berdua, kalian bisa saling menopang satu sama lain.

"Percayalah nak, hidup itu penuh tantangan. Dan sebuah tantangan tercipta untuk dapat ditaklukkan-kecuali kalo ada orang ketiga yang pengen rebut pasangan kamu terus ngira kamu itu tantangan yang harus dia taklukkan ih itu mah salah banget hahaha.

"Dan ini yang terakhir, ketika Abel mendapatkan masalah sama Aga jangan sampai ada orang lain yang tau-termasuk kami, orang tua kalian. Tapi kalo masalahnya udah level hard mah yaa cerita atuh, haha. Masalah di dalam rumah cukup diselesaikan di dalam rumah."

Abel tersenyum masam mengingat semua ucapan mamanya. Benar, sih-benar sekali malah feeling seorang ibu memang selalu tepat, tetapi berbicara seperti itu sangatlah mudah, berbeda dengan dirinya yang akan melakukan apa yang dibicarakan. Terlalu sulit.

Abel mengembuskan napasnya pelan, dia sudah tidak mau bertingkah gimana-gimana lagi. Mau akhirnya akan baikan, ya udah tidak apa-apa. Mau akhirnya malah berpisah, ya udahlah nggak apa-apa.

Gadis yang kini tengah berdiri di depan cermin itu mengancingkan kancing terakhir seragam putih abu-abunya. Sekolahnya memang membuat kebijakan bahwa setiap hari Senin harus memakai seragam OSIS (putih abu-abu).

Setelah semuanya siap, Abel melangkahkan kakinya menuju lantai bawah untuk menyiapkan sarapan. Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul 6 lebih 15 menit pagi, Abel memutuskan untuk roti dengan selai saja yang simpel. Abel membuat untuk dua porsi, ia juga menyiapkan satu gelas susu dan satu gelas air putih biasa, karena Aga tidak menyukai minum susu di pagi hari.

See. Walau se-kecewa apapun Abel masih saja tidak bisa untuk abai barang sedetik saja. Dan hal itu membuat Abel merasa dilema sendiri.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, Abel makan terlebih dahulu baru setelahnya dia mengetuk pintu kamar Aga sebagai kode kalau sarapan sudah jadi, atau biasanya Aga keluar kamar sendiri.

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang