8. Resah

72 40 14
                                    

     Sudah tiga hari berlalu Aga habiskan untuk berdiam diri di rumah. Selain karena tidak ada kerjaan, dia juga malas kalau harus berinteraksi dengan orang banyak a.k.a tetangganya.

Bukan maksud apa-apa, pasalnya baru semalam mereka pindah esok paginya sudah banyak warga datang ke rumah mereka, menginterogasi mereka berdua dengan segudang pertanyaan. Gampangnya sih—mereka digrebek.

Untungnya Pak Samsul—RT setempat—datang menjelaskan kepada warga sekalian kalau Aga dan Abel itu pasangan suami istri. Awalnya para warga tidak percaya, bahkan kerusuhan di rumah mereka berdua semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya Abel berinisiatif menelpon orang tuanya dan orang tua Aga untuk datang dan menjelaskan.

Baru kemudian setelah para orang tua datang dan menjelaskan, para warga mulai percaya. Beberapa dari mereka meminta maaf karena telah menuduh Aga dan Abel yang tidak-tidak, tapi sebagian yang lain menggunjingkan dua remaja itu, berpikir dan menerka-nerka kalau mereka menikah lantaran sang mempelai wanita tekdung-dungdung tak duluan.

Dasar! Suujon teroooss...

Karena itulah Aga jadi malas kalau harus keluar rumah, dia ingin merasakan menjadi kaum rebahan, kaum mageran, dan ternyata itu sangat menyenangkan. Dia serasa menemukan sesuatu yang baru saat melakukan kegiatan barunya itu, karena dulu ia selalu menekankan dirinya untuk hidup produktif.

Mau apa saja tinggal suruh Abel—walau harus mendengarkan pidato dadakan dari gadis itu. Aga tidak ambil pusing, toh pada akhirnya Abel menurut setelah dia berucap, "heeehh.. nggak nurut? Dosa."

Terlepas dari itu semua, Aga menikmati liburannya ini. Mengusili Abel merupakan prioritas utamanya saat ini, melihat wajah penuh kesal dengan bibir mengerucut dan pipi yang menggembung itu berhasil membuat Aga benar-benar merasa terhibur.

Dan hari ini adalah saatnya Aga kembali bersekolah. Menimba ilmu di SMA tercintanya—SMA Cinta Damai. Walau seringkali muridnya lupa makna dari nama SMA-nya. Bertemu kembali dengan teman-teman Astaghfirullah-nya, dan para guru yang sangat Aga rindukan—etapi boong. Dan poin terpenting saat kembali ke sekolah adalah menghabiskan kuota WI-FI!! Walau sinyalnya tidak cantik tapi asal itu gratis tidak masalah untuknya.

Aga mengancingkan kancing terakhir baju seragamnya, lalu keluar kamar menuju ruang makan—yang mana tempatnya persis di depan kamarnya. Dia melirik sekilas ke arah tangga. Abel masih berada di kamarnya mungkin.

"Lah? Gada sarapan?" Gumamnya saat melihat meja makan yang kosong. Lantas Aga pun melirik sekilas ke arah dapur, dan tak menampakkan suatu makanan apapun di sana.

Terdengar suara ketukan sepatu di arah tangga, Aga menoleh menatap Abel yang tengah menuruni tangga sambil mengenakan jam tangannya.

"Lo nggak masak, Bel?" Tanya Aga saat Abel sudah di dekatnya.

Abel melirik sekilas cowok itu lantas berlalu menuju dapur. "Nggak. Sarapan pake roti aja ya?"

Aga menganggukkan kepalanya pelan lalu duduk di kursi meja makan. "Gue roti gandum aja, nggak usah pake selai," katanya.

Tak berapa lama Abel pun menghampirinya dengan dua pasang roti, dan segelas air—tidak perlu repot-repot membuat minuman yang macam-macam, asal itu bisa diminum ya tidak masalah. Lalu memberi satu padanya.

"Gue berangkat duluan, daahh," ujar Abel sembari berjalan keluar rumah.

Gerakan Aga yang akan menggigit rotinya terhenti. Cowok itu hendak bertanya pada Abel berangkat pakai apa, tapi ditahannya. Dia merasa tiba-tiba jadi canggung. Padahal kalau dilihat-lihat hubungan mereka tidak malu-malu, terbukti dengan Aga yang dengan bangke-nya mengusili Abel terus.

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang