Abel menghembuskan napas panjang. Matanya terpejam dengan kepala menengadah ke atas. Merentangkan kedua tangannya, sembari menikmati semilir angin yang berembus menerpa wajahnya, membuat beberapa helai rambutnya menari-nari hingga mengenai wajahnya.
Rooftop adalah tempat yang paling pas untuk dirinya saat ini. Sepi, tenang, dan menyegarkan untuknya.
Dari atas sini dia bisa menatap seluruh bangunan sekolahnya, menatap area lapangan basket yang kini sedang ramai karena tengah digunakan, area taman belakang yang juga tak kalah ramai, area kantin yang tidak pernah sepi dari pengunjung, atau area perpustakaan yang selalu sepi—kayak hati. yang berada tepat didepan gedung empat lantai ini. Hanya berjarak beberapa meter saja.
Dari atas sini juga Abel bisa melihat langsung birunya langit dengan beberapa gumpalan awan putih. Abel sangat bersyukur bahwa Bandung memiliki udara yang masih bisa dibilang cukup bersih dan segar.
Tadinya gadis itu ingin menyusul temannya ke kantin, tapi berhubung dia butuh tempat yang tenang dan kantin sama sekali bukan jawaban. Dan disinilah Abel, di rooftop gedung sekolahnya.
Ee.. Sekarang apa? Apakah dirinya baik-baik saja? Ah entahlah, Abel sendiri tidak tahu. Saat ini dirinya hanya ingin berdiri diam menikmati sejuknya Bandung, tidak ingin melakukan apa-apa.
Hanya ingin menenangkan diri saja dari perasaan resah dan gelisah yang masih saja bersemayam dalam benaknya. Iya, Abel masih belum mendapatkan jawabannya, ia masih mencari. Jadi, adakah yang ingin membantunya kali ini?
Lalu, bagaimana dirinya dengan Aga? Hohoho jangan ditanya Ferguso. Masih setia seperti kucing dan anjing, tapi kali ini sudah naik level menjadi kucing garong, dan anjing gila.
Motto hidup Abel sebelumnya adalah 'Tenang adalah Jalan Hidupku' tapi kenapa sekarang kesannya menjadi 'Gegana adalah Jalan Nasibku'? Abel merasa belum menggantinya tuh.
Tiada hari yang ia lewatkan tanpa berdebat yang berujung pada dirinya kesal dengan tingkah absurd Aga, dan berakhir dengan dirinya tidak bisa tidur lalu merasa tertekan karena dia yang telah menikah dengan Aga. Bahasa kekiniannya sih overthinking lah.
Ah iya! Jangan lupakan bahwa cowok itu memiliki mulut setajam silet yang kapan bisa saja melukainya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar seseorang memanggilnya. "Abel!!"
Abel celingukan kesana-kemari, dan ternyata seseorang itu ada di bawah, lebih tepatnya di depan perpustakaan. Ia melihat.. Azka? Sedang apa gadis itu di sana? Setahu Abel gadis itu anti sekali berada di perpustakaan. Katanya dia alergi dengan suasana perpustakaan. Dasar bocah gendeng!
Gadis itu sedang melambai-lambaikan tangan kearahnya. Lalu bibirnya berkomat-kamit tidak jelas. Abel memberi isyarat 'apa?' dengan tangannya. Lalu Abel melihat Azka malah berjalan menuju gedung yang Abel injak.
Tak lama kemudian tiba-tiba pintu dibelakang Abel terbuka, dan muncullah Azka.
"Oy Bel!" Sapanya.
Abel melirik sekilas, "hem," gumamnya.
"Lagi apa Lo?" Tanya Azka penuh dengan kebasa-basian.
"Gak liat gue lagi apa?" Balasnya ketus. Lagian tanya kok tidak berfaedah sekali. Itu mata buat apa kalau tidak bisa melihat dirinya lagi apa. Pikirnya.
"Yee santuy dong yang.. kan bebeb cuma nanya."
Abel hanya bergumam tidak jelas, membuat Azka menatapnya bingung. Gadis tengil itu menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, itu hanya respon otaknya saja yang sedang bingung ingin memulai pembicaraan apa dengan Abel. Sayang sudah terlanjur ke atas, tidak mungkinkan hanya diam-diam saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
RomancePERINGATAN!! MEMBACA CERITA INI AKAN MEMBUAT KALIAN TAU APA ITU ✨𝓚𝓮𝓼𝓪𝓫𝓪𝓻𝓪𝓷✨ Abel pikir hidupnya akan baik-baik saja ketika orang tuanya pergi ke London. Ia pikir jika dirinya tinggal sendirian dirinya akan bebas dari tuntutan orang tuanya. ...