Senja pertama yang aku lihat di musim penghujan mengingat rindu di ujung pilu yang masih menggerutu bukan untuk bertemu tetapi meminta untuk berlalu sebab harapan yang telah usang dan mungkin perihal janji yang hanya kamu karang. Langit yang terbakar oleh merah dan jingga mengingat kamu yang pernah berkata jika ini indah, hanya indah di musim penghujan saja sebab berada di antara kelabu dan kerinduan lalu kamu melihatku dengan dalamnya, hingga berhasil lagi menjadi suatu kepercayaan yang aku genggam percaya jika kamu tidak akan meninggalkan sekalipun kamu pergi pasti akan kembali.
Tetapi pandangan itu menghilang yang kini hanya ada di dalam suatu ingatan, perlahan senja hilang dari mata yang memandang dan waktu tentu saja memilih untuk berlalu, senja yang pernah kuhabiskan dengan mendengar cerita darimu kini kuhabiskan dengan mengenang cerita tentang dirimu, begitu sia-sia dan percuma, pujian hanya menjadi bualan yang masih terdengar dan terngiang-ngiang di telingaku, janji yang kamu racik sempurna menjadi dusta yang masih belum kupercayai. Senja pertama seharusnya bukan milikmu sebab tentangmu cukup berada di musim penghujan, cukup tergenang bersama kenangan tidak lagi aku masukkan pada setiap bagian-bagian penting dalam hidupku sebab aku pun tak pernah menjadi penting bagimu, aku hanya sesekali berpikir keadilan dalam cinta dan setimpal, ketika aku memberi kepercayaan dan pengharapan lalu kamu meninggalkan lalu untuk apa aku bertahan, aku hanya tidak ingin terlalu bodoh meski berlarut dalam menunggu telah menjadi kebodohan karena kamu tidak menganggap ada, jika saja kamu menganggap kehadiranku di sini kamu akan datang dan menepati janji tetapi itu hanya terjadi saat kamu menyesali dan saat itu aku akan adil dalam cinta, cinta yang pernah kamu dera, bukan lebih tepatnya cinta yang akan mengadilimu ia akan bersikap lebih dari yang kamu beri, bukannya aku menjadi pendendam ini hanya cara agar kamu paham jika rasa yang tak pernah kamu saksikan, rasa yang hanya kamu lewatkan di antara hujan dan kerinduan, di antara harapan dan sikapmu yang keterlaluan, ini adalah cara terakhir bagiku sebab sebelumnya aku telah berusaha bertahan agar kamu memandangiku dalam pengorbanan tetapi tetap saja kamu tidak menghiraukan.
Sedih mungkin sedih, miris atau mengasihi diri entah bagaimana aku menyebutnya, bagaimana menjelaskan sebuah penantian, luka dan harapan di dalam suatu ingatan yang kini kamu harus tahu. Aku jenuh, jenuh menunggumu dan perkataanku mengundang langit untuk menjatuhkan tetesannya, kali ini aku tidak akan lari untuk berteduh aku hanya ingin hujan yang setiap hari kunanti dan menemani juga tahu bila di selanya tidak hanya tentang titik rindu tetapi juga titik jenuh, tidak sekadar reda dan didera tetapi juga tentang menyerah. Derasnya yang kian menempa dan aku yang masih saja di sini, terdiam kaku tertunduk beku melihat sepasang sepatu berhadapan dengan kaki yang menapaki pilu, sepasang sepatu yang pernah selangkah denganku, kemudian nama yang terdengar jelas di gendang telinga dengan suara yang sedikit parau dan kamu tiba-tiba datang kembali di hadapanku, seseorang yang aku nanti, yang aku rindukan, yang aku inginkan yang menjadi harapan. Sungguh mata yang kembali saling memandang kamu menatapku kembali dengan dalamnya dan berkata menyesali yang terjadi sebelumnya, sudah kupastikan kedatanganmu yang beralasan tetapi aku telah menyediakan tempat untukmu dan aku rasa tempatmu cukup berada di masa lalu karena titik jenuh yang kini bersamaku.
"Cukup tergenang bersama kenangan tidak lagi aku masukkan pada setiap bagian-bagian penting dalam hidupku sebab aku pun tak pernah menjadi penting bagimu."-May
KAMU SEDANG MEMBACA
Raindu (Hujan dan Rindu)
عاطفية-Sejak Agustus 2018- #1-Kata (13 Maret 2019) #1-Syair (22 Nov - 3 Des) 2018 #1-Poem (28 Des -) #2-Sajak #2-Quotes (18 Jan 2019) #4-Puisi #4-Poetry (31 Jan 2019) .