11. Kesadaran

30 8 1
                                    

Suratan takdir memang betul tidak dapat ditebak. Terkadang ia berpihak dan kadang pula menentang. Manusia tidak bisa menentukan takdir mereka sendiri. Hanya Allah yang menentukan takdir dari setiap makhluk ciptaan-Nya. Sejak ruh manusia ditiupkan ke dalam rahim ibunya, di saat itulah Allah menentukan takdirnya.

Allah yang Maha Kuasa, semua kehidupan di alam semesta tidak bukan Allah yang telah mengaturnya. Ibaratkan manusia hanyalah pemain semata dalam sebuah skenario.

Sepertiku sekarang ini. Entah takdir akan membawaku kemana. Semua yang aku anggap mustahil bisa terjadi, kini semuanya terjadi di depan mataku sendiri. Sempat aku berpikir tidaklah mungkin aku bisa berada di pesantren ini lebih lama. Namun sekarang semuanya seolah berbalik tepat 180°.

Aku tidak menyangka kalau Haura bisa berubah pikiran secepat itu. Dari tidak sabaran ingin ke perkemahan, sekarang ini malah merengek-rengek ingin tinggal lebih lama di pesantren ini. Yah terpaksalah Kak Fahri harus meminta maaf dan menjelaskan semua kejadian ini pada Pak Yayan dan beberapa warga yang siap mengantar kami ke perkemahan.

Usai masalah ini selesai aku langsung di tarik oleh Haura ke asrama putri dengan wajah yang penuh kebahagiaan.

"Huh bahagia banget kayanya," sindirku.

"Iya lah bahagia. Orang kemauanku jadi kenyataan," sahut Haura. "Tapi Sa, aku merasa aneh deh. Semalam setelah pulang dari masjid. Aku merasakan perasaan yang saaaangaaaat nyaman. Aku jadi benar-benar enggan buat ke perkemahan."

"Mungkin Allah masih mau kamu di sini Ra. Allah itu bisa membolak-balikkan hati manusia. Contohnya kamu sekarang," sahutku.

"Iya Sa, Allah itu Maha Kuasa. Aku nggak tahu ada takdir apa yang menungguku di tempat ini. Tapi hatiku meyakini akan ada suatu perubahan besar dalam hidupku ini," ucap Haura.

"Sabar saja. Kuatkan iman kamu, tegarkan hati kamu dan siapkan diri kamu. Ujian dari Allah bisa datang kapan saja Ra," ungkapku.

"Iya Sa."

"Teh!" seru seseorang memecahkan kesibukkan kami.

"Ya Zahra?" sahut Haura.

"Kami mau ke masjid salat dhuha, teteh-teteh mau ikut?" tanya Zahra.

"Ikut-ikut!" cetus Haura antusias, aku lantas menggelengkan kepala takluk.

"Kami ikut, tapi kalian duluan saja. Kita mau ke kamar dulu," sahutku.

"Kalau begitu kita duluan ya teh, assalamualaikum." Ketiga gadis itu pergi dari tempat mereka berdiri. Begitupun denganku dan Haura, kami segera beranjak menuju kamar untuk mengambil mukena. Setelahnya kami menyusul mereka ke masjid dengan cepat.

❇ ❇ ❇

Waktu yang terus berputar tanpa lelah kini kian terasa menyusut. Membuatku sedikit cemas karenanya. Bayangan akan akhir dunia terasa merengkuh jiwa yang berlumuran dosa ini.

Tidak tahu berapa lama lagi dunia ini bisa bertahan menyangga tubuh-tubuh yang dipenuhi dosa. Lantas aku menggelengkan kepalaku. Mengusir semua bayangan yang terasa mencabik hatiku.

Aku lantas bermunajat kepada Allah yang Maha Kuasa. Setelahnya aku memutuskan untuk membaca ayat suci Al-Quran. Di sampingku ada Haura, gadis itu tengah melantunkan Al-Quran dengan suara yang sangat merdu. Aku tidak pernah tahu Haura bisa mengaji semerdu itu.

Lagi-lagi aku melakukan kesalahan yang sama. Aku belumlah menjadi sahabat yang baik. Masih banyak kenyataan tentang Haura yang belum aku ketahui. Setiap hari ia selalu saja memberiku kejutan-kejutan luar biasa tentangnya.

Aku jadi terpikir sebuah ungkapan. Katanya kita jangan menilai sesuatu dari luar dan ungkapan itu benar adanya. Manusia itu terkadang mudah sekali di sesatkan oleh penglihatan mereka sendiri.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang