14. Hijrah

32 6 0
                                    

Mentari ketara mengadar di singgasananya. Menyebar binar di sebagian belahan bumi. Sendiri aku termenung di sudut kamarku. Perkemahan sudah berlalu dua hari yang lalu, tapi kenangan dan pengalaman yang aku dapatkan selama lima hari itu masih melekat dalam otakku dengan kuat.

Meskipun selama libur dua hari ini aku tidak melihat ataupun bersuah cakap dengan Haura dan Kak Fahri, tapi pikiranku selalu terpatok pada mereka. Terutama lelaki itu.

Seringkali aku mencoba mengusir ingatanku tentangnya, namun malah semakin sulit aku melupakannya. Semua kebaikan yang ia perlihatkan selama lima hari itu tampaknya semakin menarik hatiku padanya.

Aku menyentuh dadaku yang berdebar hebat.
Cinta, fitrah manusia. Tidak ada yang bisa mengelak dari perasaan ini. Tidak mungkin perasaan ini akan menghilang dengan cepat.

Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah menerima kenyataan kalau aku memang menaruh hati pada Kak Fahri. Namun aku juga harus menyimpan perasaan ini dalam hatiku sendirian. Akan aku kubur dalam-dalam perasaan ini. Mencintainya dalam diam adalah solusi terbaikku untuk saat ini.

"Khansa!" teriak Umah, aku lantas beranjak ke dapur saat itu. Melupakan semua yang aku pikirkan beberapa saat lalu.

"Iya Umah?" tanyaku.

"Tolong belikan kecap sama tahu ke warung," ungkap Umah.

"Iya Umah." Setelah mendengar jawabanku Umah memberiku uang. Aku beranjak keluar rumahku saat itu. Namun sebelum aku menggapai pintu, tiba-tiba saja Faiz datang mengagetkanku dari luar.

Sontak membuatku tersentak di buatnya. Anak yang satu ini benar-benar senang sekali menjahiliku.

"Iz, Teteh kaget loh. Ngapain harus kaya gitu?" omelku sebal. Saat itu Faiz mulai cekikikan seru, anak itu kalau di omeli malah tertawa. Pasti dia senang sekali melihatku terkejut.

"Malah ketawa," rengutku sebal.

"Maaf Teh, kan Faiz tadi mau masuk tapi tiba-tiba Teteh mau keluar. Itu kebetulan aja," elak Faiz. Percaya tak percaya aku mengangguk saja mendengar pembelaannya.

"Iya di maafkan deh, kamu mah da jagonya cari alasan," ungkapku.

"Hehe, itu tahu," jawab Faiz. Sukses membuatku geleng-geleng kepala.

"Mau ikut nggak?" tawarku.

Faiz terlihat mengerutkan keningnya. "Kemana teh?"

"Ke warung depan."

"Hayu, Faiz ikut. Teteh traktir ya?" ungkap bocah itu lagi.

"Iya deh ayo. Mumpung Teteh masih punya uang nih dari Abah."

"Wih... Enak ya jadi Teteh. Di kasih uang banyak sama Abah sampai masih ada sisa." Aku melirik tajam kepada adikku ini.

"Sama aja kok Abah ngasihnya. Cuma beda tipis aja. Yang bikin uang teteh awet mah bukan karena di kasih banyak. Tapi teteh emang jarang beliin uangnya. Mendingan di tabung, benar nggak Iz?" ungkapku.

"Iya deh Teteh mah benar wae da," jawab Faiz berhasil membuatku sedikit tertawa.

"Udahlah ngobrolnya, yuk ke warung!" ajakku. Faiz mengangguk dan setelahnya kami beranjak ke warung yang tak jauh dari rumah.

Di sana aku membeli barang yang Umah minta. Lalu Faiz membeli beberapa makanan ringan yang dia inginkan. Aku mentraktir adikku ini mumpung aku masih punya uang sisa ke perkemahan.

"Bu jadinya semuanya berapa?" tanyaku pada penjaga warung.

"Tahunya lima ribu, kecap seribu terus jajanannya empat ribu. Totalnya sepuluh ribu dek," jawab pemilik warung. Lantas aku memberikan uang dua puluh ribu yang ku bawa.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang