Hiruk pikuk jalanan kota sore ini nampak benar-benar padat. Kemacetan yang acap kali terjadi di sepanjang sore masih saja belum mereda. Banyaknya kendaraan roda empat menjadi alasan utama terhambatnya perjalanan di setiap jalur. Aku sekadar menghela nafas berat, lantas menyandarkan punggung ke kursi mobil.
"Kenapa?" tanya lelaki di sampingku. Aku menengok ke arah Kak Fahri. Hampir saja aku melupakan keberadaannya.
"Nggak apa-apa," balasku.
"Kalau lelah tidur aja." Aku menggelengkan kepala menanggapi ucapannya. Toh aku memang tidak lelah dan mengantuk. Aku hanya bosan, bosan dengan situasi perkotaan yang seperti ini.
"Rindu kampung halaman?" cetusnya tiba-tiba. Dalam beberapa detik aku terdiam, mengapa ia bisa tahu isi pikiranku saat ini?
"Hm, kok tahu?" tanyaku penasaran.
Seketika sudut bibir Kak Fahri terangkat, ia tersenyum. Sungguh fenomena yang langka. Wajahnya yang senantiasa terlihat kaku dan datar akhirnya nampak juga senyuman di sana. Membuatku merasakan sensasi lain tatkala senyuman Kak Fahri merekah. Dan hal itu sukses membuatku mencuatkan senyuman tipis di bibirku."Bisa di tebak kok. Siapa pun yang jauh dari kampung halamannya dan tinggal di lingkungan yang baru pasti akan selalu rindu untuk pulang. Apalagi ini kota, banyak polusi. Berbeda dengan rumah kamu dulu, kan?" jelas Kak Fahri panjang lebar. Aku merasa terpukau dengan tuturan Kak Fahri saat ini. Membuatku curiga kalau yang ada di sisiku ini bukan Kak Fahri, tapi orang lain.
Sekilas senyum aku kembangkan untuk menanggapi ucapannya. Sementara itu otakku juga sedang berpikir saat ini. Sekali lagi aku salah menilai orang. Nyatanya tidak semua hal terlihat seperti apa yang tampak dari luarnya. Semua perilaku manusia tidak tercermin hanya dari sampul luarnya saja, tapi membayang dalam hati mereka.
"Soal tadi siang, yakin kamu nggak apa-apa?" tanya Kak Fahri membahas topik lain. Walaupun lagi-lagi kejadian itu yang dibahas. Jujur aku sebenarnya tidak ingin membahas hal yang sudah terjadi itu. Hatiku sedikit lara karena perkara itu. Mau bagaimanapun aku tidak pernah mendapat perlakuan yang tidak sopan semacam yang dilakukan Nabila.
"Nggak apa-apa Kak, lagi pula semuanya sudah terjadi. Mungkin itu salah satu ujian dari Allah untuk menguji imanku kepadanya," jelasku tidak ingin memperpanjang masalah.
"Lain kali jangan pergi sendirian di sekolah. Ajak Haura untuk jaga-jaga supaya kejadian seperti tadi nggak terulang lagi," pesan Kak Fahri.
Aku kembali tersenyum. "Iya, Khansa akan ingat pesan Kak Fahri."
Mobil yang semula melaju dengan kecepatan normal, perlahan melambat hingga akhirnya berhenti di depan rumahku. Lantas dengan segera aku membuka sabuk pengaman yang mengamankanku sejak tadi. Aku membuka pintu mobil dan turun dari sana.
"Makasih Kak udah antar aku pulang." Aku menutup pintu kembali sambil tersenyum ramah ke arah Kak Fahri. Walaupun aku tahu Kak Fahri tidak akan membalas senyumanku.
"Kak Fahri mau mampir?" tanyaku.
"Nggak usah, udah sore. Saya permisi." Seulas senyum tipis seketika mengembang di bibir Kak Fahri. Aku tertegun sekejap, sudah dua kali Kak Fahri tersenyum hari ini. Ada apa? Kenapa aku merasa kalau Kak Fahri yang senantiasa kaku dan datar menghilang begitu saja. Sebenarnya apa yang tidak aku pahami dari sikap Kak Fahri? Mengapa aku merasa ada sesuatu di balik sikapnya ini.
Aku menggelengkan kepala cepat. Menyingkirkan semua prasangka tentang Kak Fahri dari pikiran dan hatiku ini. Dengan segera aku membalas senyuman Kak Fahri, dan setelah itu Kak Fahri kembali melajukan mobilnya. Pergi meninggalkan tempat ini dengan segera. Begitu pun denganku, aku cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Tidak ingin lagi berlama-lama berdiri di tepi jalanan dan berprasangka yang aneh-aneh tentang Kak Fahri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khansa's Story
Teen Fiction[SELESAI] (Judul sebelumnya ; Setetes Rindu) Khansa Ulayyah, itulah aku, siswi berjilbab yang baru saja masuk ke sekolah bermayoritas siswi berseragam pendek. Sejak awal kedatanganku ke sekolah, aku sudah menjadi pusat perhatian karena penampilan y...