Waktu yang berputar, memanggulku menuju tempo syahdu yang meredakan setiap gejolak dalam benak. Meniupkan sarwa kalut yang seminggu terakhir terus meradang dalam batinku. Menyusupkan secercah harap yang lambat laun membalut luka dalam hatiku.
"Mau ke kantin nanti?" tanya Haura.
"Kamu mau?" tanyaku balik.
"Mau sih, tapi kalau kamu nggak mau nggak apa-apa aku bisa temani kamu di sini seperti biasanya," balas Haura.
Aku terdiam dalam beberapa saat. Haura sangat baik padaku. Bahkan selama seminggu ini dia rela menemaniku di kelas pada jam istirahat. Padahal aku tahu Haura pasti ingin sekali membeli makanan di kantin.
Aku masih enggan berbaur dengan orang-orang setelah kejadian malam itu. Hal itu nampaknya sudah merepotkan Haura. Harusnya aku tidak selemah itu. Yang jahat itu Kak Riko bukan orang di sekelilingku.
"Kita ke kantin saja Ra, aku akan mencoba untuk menghadapi semuanya," ucapku. Sontak membuat Haura cemas.
"Nggak Sa, aku tahu kamu nggak enak sama aku. Aku tahu kamu pasti masih nggak mau berbaur sama orang-orang. Apalagi di kantin pasti ada Hanna, aku nggak mau kamu disakiti sama Hanna," balas Haura.
"Haura, aku sudah lebih baik kok. Aku beneran baik-baik aja. Masalah Hanna, aku nggak peduli. Karena aku yakin Allah pasti akan selalu menjaga hamba-Nya," cetusku.
Tampak Haura menghembuskan nafasnya kasar. "Oke kita ke kantin. Tapi aku janji, aku akan selalu jaga kamu Sa."
❇ ❇ ❇
Langkah cagak mengayuh memasuki tempat asak oleh para empu berperut kosong. Tampak situasi di tempat ini sama saja seperti sebelumnya. Tidak ada hal yang berubah. Kantin betul-betul ramai oleh para siswa dan siswi.
"Mau pesan mi pangsit nggak Sa? Atau mau yang lain?" tanya Haura.
"Aku mau mi pangsit saja Ra, sudah lama tidak makan itu," balasku.
"Oke, aku yang pesan. Kamu cari tempat duduk saja dulu Sa!" Aku mengangguk kecil menanggapi ucapan Haura. Pandanganku mulai berkeliling ke setiap penjuru kantin. Mencari meja kosong yang mungkin luput dari pantauanku, dan ternyata itu memang benar.
Aku melewatkan satu meja di sisi barat. Di sana memang sudah ada yang duduk. Seorang lelaki, tapi tiga kursi lainnya masih kosong. Aku pun tidak akan mempermasalahkan soal lelaki itu. Aku dan Haura bisa bergabung bersamanya, karena kami sudah sangat mengenalnya. Siapa lagi kalau bukan Kak Fahri?
Aku tersenyum tipis seraya berjalan menghampiri meja itu. Sementara Haura sejak tadi sudah pergi memesan makanan kami.
"Assalamualaikum?" tegurku. Lantas membuat Kak Fahri yang tengah sibuk dengan baksonya mendongak menatapku.
"Waalaikumusalam."
"Aku sama Haura boleh gabung di sini Kak?" tanyaku.
Dalam beberapa saat Kak Fahri masih terdiam. Lalu detik berikutnya ia mengangguk. Membuatku melebarkan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khansa's Story
Teen Fiction[SELESAI] (Judul sebelumnya ; Setetes Rindu) Khansa Ulayyah, itulah aku, siswi berjilbab yang baru saja masuk ke sekolah bermayoritas siswi berseragam pendek. Sejak awal kedatanganku ke sekolah, aku sudah menjadi pusat perhatian karena penampilan y...