19. Malam yang Buruk

34 5 1
                                    

Hari-hariku tampaknya berjalan kian cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hariku tampaknya berjalan kian cepat. Di sini, di bawah sinar rembulan aku terduduk dengan pikiran yang sibuk. Pasalnya tugas sekolah yang tengah aku kerjakan kali ini sedikit rumit dan banyak pula jumlahnya.

Aku menyimpan pena yang aku pegang sejak tadi. Sejenak aku terdiam seraya meregangkan otot-ototku yang sudah terasa kaku.

"Udah beres ngerjain tugasnya?" tanya Hanna mengejutkanku. Aku pikir gadis itu sudah tertidur sejak tadi.

"Belum Han, masih lumayan banyak yang belum dikerjakan," sahutku.

"Ih lelet banget lo ngerjain tugas. Tahu tugasnya banyak kerjakan dari siang dong! Bukannya malem-malem. Ganggu orang mau tidur. Gue itu nggak bisa tidur kalau lampunya nyala," sergah Hanna kesal.

Pantas kalau Hanna marah seperti itu padaku. Ini juga salahku, yang dikatakan Hanna itu benar. Seharusnya aku mengerjakan tugasku dari pulang sekolah tadi. Tapi ya sudahlah aku tidak boleh mengeluh, toh ini salahku juga. Tapi aku jadi kasihan pada Hanna. Karena aku tidurnya jadi terganggu.

"Maaf ya Han ganggu tidur kamu. Kalau gitu aku pindah ke kamar Mbak Yuli saja." Aku meraih barang-barang yang aku perlukan untuk mengerjakan tugas.

"Gitu dong dari tadi," cetus Hanna.
Aku tersenyum kikuk, lantas segera beranjak ke lantai bawah. Aku berjalan menuju ruang makan. Sepertinya lebih enak di tempat ini. Mungkin aku akan mendapat banyak pencerahan dalam mengerjakan semua tugas.

Aku menyimpan semua barangku di atas meja makan. Kemudian aku duduk di salah satu kursi. Aku membuka bukuku, lantas memulai lagi pekerjaan yang sempat terhenti tadi. Dalam beberapa saat aku masih terpaku pada pertanyaan-pertanyaan yang beranak pinak ini. Aku menggaruk kerudung bagian atasku. Kepalaku rasanya sudah sangat pusing.

Aku meraih ponsel yang ada di saku rok. Aku mencari nomor Haura. Maksudnya ingin menelepon, tapi aku berpikir lagi saat itu. Aku takut Haura sudah tertidur. Bagaimana jika tidurnya terganggu karena aku? Aku meletakkan ponselku di atas meja. Niat ingin menghubungi Haura aku urungkan. Sepertinya aku harus bekerja keras sendirian.

Tapi tidak berselang lama dari itu, ponselku tiba-tiba saja berbunyi. Aku melirik sekilas ke layar ponsel itu. Ada panggilan masuk dari Haura. Alhamdulillah pucuk di cinta ulam tiba. Allah benar-benar membantu hambanya yang kesusahan ini. Allah sudah memberiku jalan keluar.

Dengan gerakkan secepat kilat aku menyambar ponselku lagi. Lalu mengangkat panggilan telepon dari Haura dengan penuh semangat.

"Assalamualaikum Ra?" ucapku cepat.

"Waalaikumusalam Sa, cepat banget jawab telepon dari aku," ungkap Haura di seberang telepon.

"Iya Ra, aku itu senang banget dapat telepon dari kamu. Sebenarnya beberapa saat lalu aku udah mau telepon kamu. Tapi nggak jadi karena takut kamu udah tidur," kataku.

"Ih sama banget Sa. Aku juga sejak tadi udah bingung banget. Dilema mau telepon kamu apa nggak. Terus aku nekat deh telepon kamu walaupun ragu," balas Haura.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang