Deru langkah yang lara terdengar menyesaki koridor menuju masjid sekolah. Setelah kejadian tadi, tidak henti-hentinya Haura berlari menjauh dari semua orang. Menghindar enggan menunjukkan diri pada siapapun.
Jauh di belakang ada aku yang juga tak kenal lelah mengejar sahabatku itu. Situasi ini adalah situasi yang paling sulit untuk Haura dan aku tidak akan pernah membiarkannya menghadapi semua ini sendirian.
"Haura tunggu Ra!" teriakku mencoba menghentikan Haura. Sudah sejak tadi aku terus memanggilnya, namun tidak juga teriakkanku di hiraukan olehnya. Gadis itu sudah benar-benar menulikan telinganya. Seakan ia enggan mendengar siapapun memanggilnya.
"Ra! Tunggu!" teriakku sekali lagi. Yah tapi seperti yang sudah-sudah gadis itu tidak juga meresponku. Sampai akhirnya aku melihat langkah Haura melambat perlahan dan berhenti di halaman masjid sekolah.
Melihat itu, dengan segera aku mempercepat laju kakiku sampai batas maksimal. Aku tidak akan membiarkan Haura pergi lagi saat ini.
"Ra," panggilku seraya berhenti berlari tepat di belakang gadis itu.
Seperdetik berikutnya Haura berbalik ke arahku. Jejak air mata tampak berlinang di kedua pipinya. Matanya sudah memerah dan sembab. Aku belum pernah melihat Haura seperti ini.
"Haura," ucapku lirih. Aku mengangkat tanganku, hendak memegangi pipinya. Namun sebelum aku memegangnya Haura sudah terlebih dahulu meraih tanganku dan menarikku ke pelukannya.
Mendapat tindakan yang mendadak sontak membuatku terkejut. Namun keterkejutan itu menghilang seketika kala aku merasakan tubuh Haura gemetar. Terdengar isak tangis yang lara dari bibirnya. Seketika itu juga aku segera balas memeluknya erat. Membiarkan Haura menangis di pelukkanku. Apa yang ia alami hari ini benar-benar sudah sangat kelewat batas. Apalagi kondisi Haura yang masih belum siap menerima semua ini. Membuatnya benar-benar terluka karena Nabila.
Aku tahu Haura memang sudah siap memakai jilbab, tapi Haura belumlah siap untuk menerima tekanan seperti yang ia alami beberapa saat lalu. Melihat itu, aku jadi takut karena kejadian ini akan mengganggu kondisi Haura.
"Sa... Aku udah nggak kuat lagi sekarang. Aku udah nggak bisa pura-pura ceria, hati aku udah terlanjur hancur Sa," ucapnya gemetaran.
Aku lantas mengeratkan pelukkanku. Aku sangat tahu kondisi Haura saat ini. Gadis itu pasti sedang merasa sakit hati karena perlakuan Nabila. Aku sudah sangat sabar menghadapi setiap ulahnya yang selalu ingin mengusik kami berdua. Tapi kali ini ulahnya sudah keterlaluan. Dulu ia membuka kerudungku, tapi untungnya kejadian itu terjadi di toilet. Tapi sekarang Nabila sudah berani membuka kerudung Haura di depan umum. Batas kesabaranku sungguh di uji kali ini.
"Nangis aja Ra, ungkapkan semua kegundahan hati kamu selama ini. Luapkan semua kesakitan kamu di sini Ra, aku nggak akan lepaskan pelukan ini," ucapku seraya mengelus punggung Haura. Selepas itu terdengar suara isakkan dari Haura. Mendengar itu aku juga jadi ikut sedih.
"Haura!" seru seseorang. Mendengar suara itu Haura lantas melepas pelukkanku dan langsung berlari menghambur ke pelukkan orang itu. Aku tersenyum tipis, melihat Haura ada di pelukkan Kak Fahri saat ini.
Terlihat wajah Kak Fahri tidak sejudes biasanya. Di mimik wajahnya tercetak sebuah ekspresi sendu yang memang tidak terlalu nampak. Aku tahu semua ini hanya karena kejadian yang menimpa Haura.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Kak Fahri sambil mengelus kepala sepupunya itu. Terlihat Haura mengangguk beberapa kali.
Kak Fahri melepas pelukannya dan beralih menangkupkan kedua telepak tangannya di pipi Haura yang basah oleh air mata. Perlahan ia menghapus jejak-jejak air mata itu dari pipi Haura sambil bekata," jangan nangis. Maafin Kakak yang nggak bisa datang di waktu yang tepat Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Khansa's Story
Teen Fiction[SELESAI] (Judul sebelumnya ; Setetes Rindu) Khansa Ulayyah, itulah aku, siswi berjilbab yang baru saja masuk ke sekolah bermayoritas siswi berseragam pendek. Sejak awal kedatanganku ke sekolah, aku sudah menjadi pusat perhatian karena penampilan y...