1. Seorang Teman

84 11 0
                                    

Detik yang tak kenal lelah berdetak, kini telah menunjuk pada pukul 10:00. Waktu yang tepat untuk khalayak siswa-siswi SMA Gemilang mengistirahatkan otak mereka.

Layaknya kebanyakan siswa, teman-teman satu kelasku berbondong menyerbu kantin sekolahan. Menyisakan aku dan beberapa siswi lain, termasuk Haura.

"Lo mau ke kantin nggak?" tanya Haura padaku.
Aku menggeleng. "Nggak kayanya, kamu aja," balasku seadaanya.

"Oh oke, gue ke kantin ya."

Terlihat Haura meninggalkan kelas dengan cepat. Kini tinggalah aku di mejaku. Untuk menghilangkan rasa bosan, aku menjejalinya dengan membaca Al-Quran. Walau memang masih tak membuatku merasa nyaman. Tapi minimal hatiku sejumput lebih tenang dari sebelumnya.

"Oh dia murid baru itu! Halah sekolah kita kedatangan ustazdah."

Aku mendengar suara pekikan keras itu. Sejenak ku sudahi bacaan Al-Qur'an. Lalu menyimpannya di atas meja. Aku sedikit mendongak, menatap tiga gadis tengah berjejer di dekatku. Dan entah kenapa perasaanku mulai tak enak saat ini.

"Enak banget lo duduk di kursi itu!" ujar salah satu dari ketiganya. Tampilannya paling nyentrik dengan baju yang ketat. Kelihatannya dia yang paling berpengaruh di antara yang lain. Namun yang tidak aku mengerti saat ini adalah alasan ia berkata seperti itu padaku.

"Memangnya ada yang duduk di sini ya? Maaf aku tidak tahu. Soalnya tadi Haura bilang kursi ini kosong, jadi aku duduk di sini," balasku agak takut.

"Aku- " Mendadak tawa meledek ketiganya pecah saat itu juga. Aku tahu gaya bicaraku yang aku-kamu memang terdengar aneh. Tetapi ini kebiasaanku, aku terlanjur nyaman menggunakan panggilan itu.

"Sana pindah lo! Jangan duduk di sini!" sergahnya lagi. Entahlah aku harus bagaimana saat ini. Aku masih tak mengerti permasalahan mereka denganku dan aku juga tak tahu siapa mereka?

"Heh cabe Nabilla and geng! Ngapain lo ke kelas gue? Jangan ganggu dia! Mending cabut sana! Mau gue laporin sama direktur sekolah?" jerit seseorang di ambang pintu. Entah sejak kapan Haura berada di sana. Kehadirannya membuatku sedikit lega.

Haura berjalan mendekat dengan tampang garangnya. Ya walaupun aku tak merasa takut dengan wajah Haura.

"Heh Nabila! Jangan pernah ganggu dia lagi! dia nggak ada masalah sama lo! Mending lo cabut sana!" usir Haura dengan bengis. Ia tampak sangat berani menghadapi siswi yang bernama Nabila ini. Tidak sepertiku yang langsung ciut begitu saja.

"Budeg ya kalian? Gue bilang cabut sana!"

"Biasa aja kali, kita juga mau pergi... Lagian gue bisa muntah kalau kelamaan lihat muka lo!" cibir Nabila sinis. Kemudian dengan wajah malasnya, Nabila pergi diikuti kedua anteknya dari kelas.

Aku merasa lega selepas kepergian Nabila. Kupalingkan pandangan pada Haura yang masih terfokus pada pintu keluar. Dari raut wajahnya dapat aku simpulkan Haura benar-benar sedang kesal.

"Haura... Mm... Yang barusan siapa?" tanyaku hati-hati.

Seketika Haura mengalihkan alih pantauannya padaku. Tentunya dengan perasaan kesal yang masih berkecamuk. Semuanya jelas tergambar dari mimik wajah Haura.

"Mereka tuh topeng monyet! Awas lo harus hati-hati sama mereka. Mereka nggak jinak," jawab Haura sekenanya.

Sontak aku tersenyum karena tuturan Haura. Apalagi dengan roman wajahnya yang menurutku menggemaskan. Haura benar-benar gadis yang mempunyai rupa imut bak anak kecil.

"Kenapa senyum-senyum? Gue serius loh soal mereka, lo harus hati-hati!" tambah Haura.

"Bukan gitu Haura. Aku senyum bukan karena ucapan kamu. Tapi ekspresi kamu," ujarku.

"Emang kenapa ekspresi gue? Lucu ya? Argh... Gue emang lucu dari lahir keles," jawab Haura dengan percaya diri tingkat tinggi.

Sekali lagi aku dibuat terkagum oleh Haura. Bukan karena rupa saja. Kepercayaan dirinya dan sifat supelnya mampu membawaku tertarik untuk masuk dan mengenalnya lebih jauh. Di tambah bagaimana ia bertutur pada Nabila hingga membuat gadis itu dan dua pionnya hengkang begitu saja, membuat rasa penasaran tumbuh di benakku. Padahal kicauan Haura yang aku dengar hanya cacian dan sedikit ancaman. Tapi entahlah, tampaknya ada sesuatu yang membuat Nabila tunduk akan ancaman Haura.

"Iya deh... Kamu emang lucu kok."

"Hhe... Mm tapi... Yang dibilang Nabila itu bener, lebih baik lo jangan deket-deket sama gue. Seperti yang pagi tadi gue bilang. Gue nggak mau buat lo susah," ungkap Haura.

Aku mengernyitkan dahi tak mengerti dengan arah pembicaraan Haura. Kenapa sejak tadi Haura bilang aku akan kesusahan jika dekat dengannya?

"Loh, memangnya kenapa Haura? Apa di kursi ini ada yang duduk ya? Sampai Nabila dan kamu nyuruh aku jauh-jauh?"

Haura menggeleng dengan wajah yang di tekuk. "Nggak, dari dulu pun kursi di sebelah gue selalu kosong. Nggak ada yang mau duduk bareng gue, Khansa."

"Kenapa bisa gitu Haura?" tanyaku lebih ingin tahu. Jujur saja, aku tidak paham dengan pernyataan Haura.

Haura berkutik dengan kepala tertunduk. Tampak seperti ada satu hal yang terkuak setelah sekian lama ia tutupi.

Haura mendongak dengan air mata yang membendung di kelopak matanya. Seakan-akan bisa tumpah kapan saja. Tapi aku berusaha mengerti dengan keadaan Haura. Menceritakan sesuatu pada orang yang baru ia kenal memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

"Nabila benci sama gue sejak kelas sepuluh. Sejak itu dia selalu bully teman-teman dekat gue termasuk teman sebangku gue. Dan sejak saat itu gue nggak punya teman. Gue di kucilkan di sekolah. Semuanya takut sama Nabila," jelas Haura dengan sendu.

Di sini pula aku mulai mengerti dengan masalah Haura dan Nabila. Aku paham dengan rasa sakit yang Haura simpan dalam hatinya. Dan kini aku juga kembali mengetahui kalau Haura juga seseorang yang kuat. Bahkan ia mampu menyembunyikan rasa sakitnya dikucilkan orang-orang selama ini. Aku salut kepadanya.

"Khansa... lo juga kalau nggak nyaman bareng gue dan mau pindah kursi pun nggak apa kok. Lagian gue nggak mau lo jadi dibully sama Nabila karena gue." Haura kembali menundukkan kepalanya.

Lantas aku segera meraih kedua tangan Haura dan menggenggamnya dengan kuat. Seketika membuat Haura mendongak dan menatapku dengan pandangan sendu.

"Haura... Jangan suruh aku pindah kursi. Aku terlanjur nyaman duduk sama kamu. Dan ingat juga, setelah ini jangan pernah bilang kalau kamu nggak punya teman. Karena dari detik ini aku jadi teman kamu." Aku memandang wajah Haura lekat-lekat.

Aku dapat melihat jelas cairan bening yang membendung di kelopak mata Haura semakin bertambah banyak. Dan akhirnya meluruh begitu saja ke kedua belah pipinya.

Mendadak Haura memelukku dengan erat seraya menumpahkan semua rasa kalutnya. Aku hanya membalas sambil berusaha membuatnya tenang. Rasa sakitnya selama ini memang tak seharusnya dipendam. Biarkan semuanya terlampiaskan agar tak menimbulkan dendam. Sesungguhnya dendam itu adalah sifat dari setan.

"Khansa... Makasih udah mau jadi teman gue. Makasih juga karena mau dukung gue," ungkap Haura dengan suara yang parau.

Aku hanya tersenyum sembari terus menenangkan Haura yang belum menenang. "Sesama saudara muslim kita memang harus saling mendukung dan membantu Haura. Kamu tidak perlu berterima kasih, ini semua sudah menjadi kewajibanku."

Dari detik itu aku mulai menemukan seorang teman yang tepat. Aku dan Haura menjadi teman yang dekat. Bahkan dalam waktu singkat aku kembali mengetahui sesuatu tentangnya. Tak tahu lagi aku harus menggambarkan sifat Haura yang sesungguhnya seperti apa. Kentara ia memang gadis yang lembut. Ia gadis yang ceria, dan ia gadis yang kuat. Walau nyatanya hatinya sangat rapuh perihal cinta dan kasih sayang. Aku bahagia dapat menjadi teman Haura.

—Khansa's Story—

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang