9. Perjalanan

29 9 0
                                    

Malam yang diselimuti gelita menemaniku di tiap hari-harinya. Ini sudah dua hari sejak pengumuman perkemahan di bagikan. Aku masih merasa bersalah kepada Haura. Karena aku, besok pagi gadis itu tidak akan ikut bersama rombongan sekolah ke tempat perkemahan.

Siswa yang tidak mengikuti acara ini sepertiku di liburkan besok. Kami disuruh belajar di rumah masing-masing. Aku tidak keberatan karena hal itu. Tapi yang aku cemaskan adalah Haura. Aku tidak tega melihatnya bersedih di setiap harinya. Andai kami bisa ikut pergi, mungkin Haura tidak akan terlihat murung.

Aku meraih buku-buku di atas meja belajar, lantas membenahkannya agar terlihat rapi. Selama beberapa saat aku merapikan meja, terdengar suara Umah memanggilku.

"Teh!" teriak Umah. Aku belum sempat menyahut, tapi Umah kembali berkata," Ada Haura."

Sontak aku terdiam heran. Aku melirik jam dinding, pukul 20.00. Ada apa Haura bertamu malam-malam? Apa ada hal penting atau apa? Hatiku terus melontarkan banyak pertanyaan, karena saking tidak percayanya kalau Haura datang ke rumahku saat ini.

Untuk memuaskan rasa penasaranku, aku segera keluar dari kamarku. Beranjak menuju ruang tamu di mana orang tuaku berada. Ternyata benar, Haura sedang duduk di kursi ditemani Umah. Ada Abah juga di sana. Mereka semua tampak sedang berbincang-bincang.

"Ra?" tanyaku bingung. Ketiga orang di depanku lantas menoleh melihat kehadiranku di sana. Ketara sebuah senyuman tercetak di bibir Haura. Senyuman yang sangat lebar dengan raut ceria. Sudah sejak kemarin aku tidak melihat Haura seceria itu. Ada apa gerangan sekarang ini?

"Khansa! Besok kita ikut perkemahan, Abah kamu udah kasih izin," ungkap Haura kegirangan. Aku sendiri hanya diam mematung di tempatku. Sebenarnya aku masih belum mengerti apa yang terjadi. Banyak pertanyaan bermunculan dalam hatiku saat ini. Membuat aku jadi bingung sendiri di tempatku.

"Kok bisa?" Yah, hanya dua kata itu yang lolos dari mulutku. Sementara pertanyaan lain masih terpendam dalam pikiranku sendiri.

Terlihat Haura memutar bola matanya malas seraya berdecak kecil. "Bisa lah. Kamu lupa aku keponakannya siapa?" ucap Haura seraya bangkit dari kursi dan menghampiriku.

"Tapi Ra—"

"Udah pertanyaannya disimpan aja dulu, sekarang kita siapin dulu barang kamu. Nanti keburu malem banget. Iya kan Umah?" tukas Haura.

"Iya, sana kalian beres-beres saja ya!" sahut Umah seraya beranjak ke kamarnya bersama Abah. Sekarang aku di tinggal berdua dengan Haura.

"Ra tapi aku masih bingung loh," cetusku. Sedangkan Haura hanya menggeleng seraya mengambil tas besarnya di dekat kursi.

"Intinya kita gratis ikut perkemahan nanti. Nggak perlu bayar dan kamu nggak perlu cemas soal biaya," ungkap Haura. Seketika aku terdiam sambil menelan ludahku susah payah. Dari mana Haura tahu kalau alasan aku tidak mengikuti perkemahan adalah biaya.

"Kamu tahu dari mana aku nggak ada biaya buat ikut perkemahan?" tanyaku penasaran.
"Aku tahu aja, kamu nggak pinter bohong Sa." Haura melengos saja menuju kamarku sambil membawa tasnya. Meninggalkanku yang tengah berpikir di ruang tamu.

"Apa sekelihatan itu ya kalau aku bohong? Sampai semua orang tahu kalau aku lagi bohong." Aku menggaruk puncak kepalaku yang sebenarnya tak gatal. Lantas menyusul Haura ke dalam kamarku dengan bingung.

❇ ❇ ❇

Ketika cahaya pertama sang surya berkilauan di ufuk timur, Aku dan Haura sudah selesai bersiap. Tinggal menunggu Kak Fahri saja yang akan menjemput kami. Sekadar informasi, sebenarnya semalam Haura di antar Kak Fahri ke rumahku. Jadi gadis itu tidak membawa mobilnya sendiri.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang