Kaki yang berayun melangkah membawaku ke tempat yang katanya surganya para pelajar. Tempat di mana mereka bisa mengisi perut dan bergurau bersama. Di sini, di kantin sekolah. Aku duduk di salah satu meja, tentunya bersama Haura. Di hadapan kami sudah ada dua porsi mi pangsit favorit kami, juga ada dua gelas minuman berperisa sirsak.
Selagi memakan makan siang, aku dan Haura banyak berbincang mengenai banyak hal. Termasuk soal keluargaku yang akan pergi ke Pangalengan. Aku juga meminta pendapat Haura saat itu. Tapi tetap saja pasti Haura akan memaksaku tinggal sementara di rumahnya. Aku jadi harus lebih extra menolaknya semampuku. Sudah cukup banyak aku merepotkan Haura dan keluarganya.
"Tinggal aja sama aku Sa," pinta Haura.
"Enggak Haura, Abah lagi cari Bibi aku juga kok. Nanti aku tinggal sama Bibi aku," alibiku.
"Yah Sa, ayo dong," bujuk Haura lagi. Kali ini ia memegangi tanganku. Tapi tetap saja mau bagaimanapun cara dia membujukku aku sama sekali tidak akan terbujuk. Lagi pula alasanku menolak untuk tinggal bersama Haura bukan hanya karena rasa tidak enak saja. Tapi aku juga mau mengenal keluarga dari pihak Abah. Bibi Santi itu satu-satunya kerabat Abah di Jakarta. Setidaknya aku juga harus mengenalnya.
"Enggak Haura, lagi pula ini itu kesempatan buat aku supaya bisa kenal sama kerabatku, kamu ngerti ya?" pintaku.
"Iya deh, tapi Sa. Jakarta itu luas, gimana cara Abah buat cari alamat bibi kamu? Apalagi waktunya sebentar. Kata kamu tadi Abah akan pergi ke Pangalengan lusa nanti."
"Nggak tahu, tapi Insya Allah kok kalau kita berusaha dengan dibarengi doa, apapun pasti bisa ketemu," jelasku.
"Iya deh," final Haura pasrah.
Braak braak
Seketika aku dan Haura terperanjat karena pukulan meja itu. Sontak kami melemparkan pandangan kami pada sang pelaku yang kini tengah nyengir di depan kami. Siapa lagi kalau bukan Cecep? Di belakang Cecep ada Agas, Ardi, Bram dan Husnul tengah tertawa kecil melihat kami.
"Kaget Cecep! Apa-apaan sih?" protes Haura kesal.
"Nggak apa-apaan, pengen aja pukul meja. Anda tidak punya hak untuk melarang saya," timpal Cecep mengelak.
"Tapi kayanya gue punya hak deh buat tampol wajah lo Cep," cetus Haura. Seketika membuat Cecep memegangi kedua pipinya cemas. Detik berikutnya semua orang jadi tertawa di buatnya. Termasuk aku dan Haura, gadis itu paling senang sepertinya.
"Lebay lo!" ucap Bram seraya menoyor kepala Cecep dari belakang.
"Puas banget lo semua ngerjain gue," ucap Cecep seraya menurunkan tangannya dari pipi.
"Emangnya siapa yang nggak puas ngerjain orang yang suka ngerjain orang kek elo?" Kali ini Agas yang berkata. Lagi-lagi membuat Cecep sedikit kesal.
"Dasar pendendam," cetus Cecep kesal. Lelaki itu lantas memilih untuk duduk di salah satu kursi yang ada di dekatnya. Reaksi Cecep yang pasrah seperti itu sontak membuat kami semua tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khansa's Story
Teen Fiction[SELESAI] (Judul sebelumnya ; Setetes Rindu) Khansa Ulayyah, itulah aku, siswi berjilbab yang baru saja masuk ke sekolah bermayoritas siswi berseragam pendek. Sejak awal kedatanganku ke sekolah, aku sudah menjadi pusat perhatian karena penampilan y...