7. Awal Pertikaian

44 7 0
                                    

Mentari yang kian terik di setiap jam mulai bersinggah tepat di atas ubun-ubun manusia. Aku dan Haura baru saja kembali dari masjid selepas menunaikan shalat dzuhur. Masih ada sisa 15 menit untuk kami beristirahat dan makan siang di kantin sekolah. Seperti hari-hari biasanya kami makan mi pangsit sambil mengobrol seru di sana.

"Kak Fahri bilang tadi pagi lo di ganggu Nabila lagi ya Sa?" tanya Haura. Aku mengangguk sambil menyuapkan mi ke mulutku.

"Mulai besok kita berangkat ke sekolah bareng!" cetus Haura. Aku menelan makananku, lantas segera menjawab ucapan gadis ini.

"Nggak usah, ngerepotin banget," tolakku.

"Nggak repot. Lagian seru kok berangkat bareng. Kita jadi punya banyak kesempatan buat ngobrol."

"Setiap hari juga banyak kesempatan kok. Aku nggak mau repotin kamu Ra," ungkapku.

"Sttt... Dah pokoknya besok gue jemput lo. Dan karena jemput lo gue jadi bisa ketemu Umah dan Faiz tiap hari."

"Yasudah deh terserah kamu. Lagian kamu itu keras kepala sama kaya batu!" ucapku bercanda.

"Dih kaya yang enggak aja. Lo juga sama kerasnya kaya beton," balas Haura tak ingin kalah mencibirku. Setelah itu kami pun tertawa bersama. Kami sering kali melakukan ini. Mencairkan suasana monoton yang acap kali merengkuh kami.

"Gue udah selesai makan, ke kelas yuk!" ajak Haura.

Aku menutup botol air yang baru saja aku minum. Lantas mengangguk ke arah Haura. "Yuk! Aku juga udah selesai," balasku.

Setelah itu kami beranjak menuju ruang kelas kami. Di sana tidak terlalu ramai. Masih banyak siswa yang berada di luar kelas. Mungkin hanya seperempatnya saja yang ada di kelas ini.

"Anak-anak cowok pada ke mana ya? Tumben banget jam segini masih di luar," ungkap Haura seraya mengelilingkan pandangannya ke sekitaran kelas.

"Ya, mungkin mereka masih di kantin. Atau mungkin masih nongkrong di halaman masjid kaya biasa Ra," balasku.

"Mungkin kali ya... Btw, selama ini lo belum cerita alasan lo pindah Sa."

Aku melirik teman semejaku ini. Haura itu benar-benar tipe orang yang sangat mudah penasaran.

"Aku pindah ke sini?" tanyaku ulang. Haura nampak mengangguk-angguk tanpa beban.

"Aku nggak tahu alasan khususnya. Tapi yang jelas Abah bilang kita merantau aja dari desa ke kota ini. Sekalian Abah juga dapat tawaran kerja yang bagus di sini," jelasku. Tapi kelihatannya Haura belum puas dengan jawabanku.

"Ngapain nyari kerja di sini, padahal kata kamu kakek kamu itu punya pesantren, kan?" Aku tersenyum kecil kala mendengar pertanyaan Haura.

"Ya Aki yang punya pesantren. Tapi Abah bilang dia mau mandiri untuk nafkahin keluarganya, nggak mau repotin mertua. Dan kota ini juga kan tempat masa kecil Abah."

"Abah kamu orang sini?" tanya Haura lagi. Aku mengangguk kecil.

"Abah lahir di Bandung cuma besarnya di kota ini. Rumah yang keluarga aku tempati sekarang itu rumah peninggalan orang tua Abah," jelasku. Sekali lagi Haura mengangguk-anggukan kepalanya.

Aku tersenyum kecil saat itu, tapi sejak mengobrol dengan Haura rasanya ada yang berbeda dari cara Haura bicara. Aku sedikit memutar otak mengingat setiap kata yang di ucapkan Haura. Mencari sesuatu yang berbeda itu.

"Kamu udah mulai pake aku-kamu bicaranya, Ra. Nggak lo-gue lagi?" ucapku menggoda Haura.

Gadis yang sedang terdiam itu mulai menatapku kaget. Seperdetik kemudian dia menunjukkan deretan gigi putihnya kepadaku.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang