3. Rapuh

61 8 0
                                    

Mobil merah kepunyaan Haura menerobos membelah jalanan kota dengan kecepatan normal. Sepanjang jalan aku berpikir tentang ucapan Haura tadi. Bagaimana bisa dia berbohong pada Umah? Dan aku pun kenapa ikut mengiyakan, padahal itu tidak benar.

"Haura, kenapa tadi kamu bohong ke Umah?" tanyaku mencoba mencari jawaban dari Haura.

"Bohong? Kapan?" balas Haura sembari fokus menyetir.

"Tadi lah, bukannya kita mau ke tempat nongkrong kamu? Kenapa bilang ke Umah mau ke panti asuhan? Dosa loh bohong ke orang tua," ucapku.

Seketika Haura menghentikan laju mobilnya. Ia menoleh ke arahku.

"Gue nggak bohong kok."

Aku mengernyitkan keningku tak mengerti. Sudah jelas Haura berbohong tadi. Tapi seakan mengerti dengan ekspresiku, Haura langsung mengedikkan dagunya ke arah kaca di sampingku.

"Tuh! Kita udah nyampe, ayo turun!" Haura melepaskan seatbelt yang mengamankannya selama perjalanan. Lalu ia membuka pintu mobilnya.

Aku yang masih kebingungan hanya mengikuti ucapan Haura. Aku membuka seatbelt, lalu keluar dari mobil Haura. Tapi saat itu aku teringat lagi arah dagu Haura saat di mobil tadi. Aku memutar tubuhku ke arah yang ditunjuk Haura.

Dapat aku lihat jelas bangunan yang cukup besar di hadapanku, catnya di dominasi warna putih gading. Di depan bangunan itu ada papan bertulis "Panti Asuhan Kasih." Aku tersenyum, jadi ini tempat nongkrong Haura dan teman-temannya. Pantas ia tak ragu mengajakku kemari.

"Ayo masuk! Pasti Bram sama yang lain udah ada di dalam," ajak Haura. Aku mengangguk dan mengekor di belakang Haura menasuki panti asuhan.

"Kok kamu nggak bilang Ra kalau tempat nongkrongnya panti asuhan? Aku kan jadi mikir aneh, maaf ya?" Haura menoleh padaku dengan senyum yang merekah.

"Sengaja, biar lo cemas gue bawa ke tempat yang aneh-aneh. Dan nggak usah minta maaf, lo nggak salah. Gue yang salah udah ngerjain lo," jelas Haura.

Tapi mendengar ucapan terakhir Haura aku jadi ingat Kak Fahri dan ucapannya istirahat tadi. Ucapannya sungguh melekat dalam otak dan pendengaranku.

"Assalamu'alaikum semuanya?" seru Haura lantang. Seketika membuat semua orang di ruangan tengah menoleh ke arah kami. Di sana banyak anak-anak kecil. Juga tentunya ada teman-teman lelaki Haura sekitar tujuh orang.

"Waalaikumusalam," jawab orang-orang di sana serentak.

"Yee ada Kak Haura!" seru anak-anak kecil itu dengan semangat dan gembira. Sungguh membuatku ikut senang. Bahkan aku tak henti-hentinya tersenyum saat itu.

Ternyata aku benar-benar salah besar menilai teman-temanku dengan sebelah mata. Dari luar mereka memang tampak seperti anak-anak yang yah bisa di bilang bandel. Tapi kentaranya hati mereka itu mulia. Mereka anak-anak yang baik.

"Ada Teh Santri juga ternyata, selamat datang ya...," ucap Bram dengan guyonannya. Aku membalasnya dengan senyuman.

Teman-teman lelaki sekelasku ini memang selalu membuat nama panggilan untuk setiap orang yang cukup dekat dengan mereka. Seperti pada Haura, mereka juga memberiku nama panggilan. Teh Santri, mereka menyebutku seperti itu. Dan aku tidak keberatan rasanya dengan sebutan itu.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang