Sebelum ini, sempat aku mengatakan sesuatu tentang hati manusia. Sebuah anugerah Allah yang teramat indah dan baik yang di miliki manusia. Hati yang sering kali menuntun manusia dalam setiap mereka bertindak.
Tak ayal lagi hati adalah sebuah rahmat yang patut disyukuri setiap manusia. Namun hati juga seringkali menjadi alasan manusia jauh dari Tuhan. Kekerasan hati seseorang kadang kala menuntun manusia menuju jalan yang salah dan jauh dari-Nya.
Semua itu hanya karena hati teramat lembut, mudah di pengaruhi berbagai hal yang menyentuhnya. Seringkali mereka yang menyesatkan mengincar hati manusia untuk jauh dari Allah. Jauh dari iman dan ketakwaan mereka hingga manusia itu jatuh sedalam-dalamnya ke dasar jurang maksiat.
Maka Allah juga memberikan manusia dengan akal. Agar mereka tidak bertindak hanya dengan hati saja, namun juga dengan akal mereka. Bahkan untuk melangkah saja manusia memerlukan hati dan pikiran mereka agar selaras. Meskipun itu membuat manusia harus berjalan tertatih-tatih di atas pijakkan penuh ranjau, namun yang terpenting manusia mampu bertindak dengan memikirkan dampak kedepannya. Apakah itu akan membuatnya mendapatkan kebahagian atau kesengsaraan yang menimbulkan penyesalan.
Aku sendiri masih bergelut dengan diriku sendiri. Apakah selama ini aku memang berada di jalan yang benar atau tidak? Apakah aku selalu bertindak dengan mempertimbangkan baik buruknya atau tidak? Aku hanya mengharapkan semua tindakkanku tidak akan membawaku pada sebuah penyesalan. Aku berdoa semoga setiap langkah yang aku ambil akan memberikan sebuah kebaikan bagi semua orang.
Di bawah naungan cakrawala malam yang lenggang. Di temani bintang-bintang yang bergantungan di sana, aku merenungkan semua hal yang pernah aku lakukan. Aku menarik nafasku panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Aku melirik ke arah gadis yang tengah duduk di sampingku. Tampak sebuah kecemasan dalam pandangannya. Ada sebuah kebimbangan yang sangat jelas aku dapati di wajah Haura. Entah apa namun sejak siang tadi Haura selalu terlihat tak fokus dengan apa yang ia lakukan. Kadang kalau dipanggil ia tidak merespon atau melamun di saat orang lain berbicara.
"Sa!" Haura menepuk punggung tanganku seraya memandangku lekat. "Apa selama ini ibadah aku kelihatan hambar?"
"Entahlah, aku tidak bisa menilai Ra. Urusan itu cuma Allah yang tahu," sahutku. Seketika gadis itu tertunduk menatap rerumputan taman yang terhampar.
"Kenapa kamu nanya gitu?" tanyaku.
"Hem enggak cuma kepikiran aja sama ucapan Ustadzah tadi. Soal berjilbab, apa ini waktunya aku menetapkan diri untuk berjilbab Sa?" Sontak aku mengembangkan senyuman kala itu. Ucapan Haura berhasil membuat hatiku kegirangan.
"Jika hati kamu memang sudah yakin untuk berhijrah, maka lakukan Ra," balasku.
"Insya Allah sekarang ini hatiku sudah yakin Khansa, bantu aku Sa supaya aku bisa istikomah di jalan ini." Haura menggenggam tanganku kuat. Aku lantas membalas genggamannya.
"Insya Allah dengan izin Allah aku akan selalu menggenggam tangan kamu dan membantu kamu menempuh jalan ini Ra. Kamu temanku aku sangat bersyukur karena kamu sudah mau memilih jalan ini."
Aku tersenyum lagi. Ternyata takdir Allah memang luar biasa tidak bisa di tebak. Selama ini aku sering sekali mencoba menjelaskan soal ini kepada Haura, tapi ia tidak pernah mengerti. Namun Allah sengaja mengirim kami ke pesantren ini untuk menyadarkan Haura. Pentingnya menutup aurat bagi perempuan sudah berhasil Haura cerna dari perkataan ustadzah. Aku sangat bersyukur karena itu.
❇ ❇ ❇
Fajar yang berpendar menyiratkan usainya kegelapan malam. Hari ini adalah hari ke-3 kami berada di pondok pesantren Al-Hikmah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khansa's Story
Teen Fiction[SELESAI] (Judul sebelumnya ; Setetes Rindu) Khansa Ulayyah, itulah aku, siswi berjilbab yang baru saja masuk ke sekolah bermayoritas siswi berseragam pendek. Sejak awal kedatanganku ke sekolah, aku sudah menjadi pusat perhatian karena penampilan y...