5. Bunda Haura

45 8 0
                                    

Happy reading🤗

❇ ❇ ❇

Jarum pendek kini singgah di antara angka dua dan tiga. Bersamaan dengan itu, bel sekolah ikut serta berdenting dengan suara khas miliknya. Memberi tanda akan berakhirnya pembelajaran di hari ini.

Aku sendiri mulai menutup bukuku. Lalu merapikannya ke dalam tas. Setelahnya guru mata pelajaran yang saat itu sedang mengajar memberi salam dan keluar dari kelas.

Tas yang semula tersimpan di bawah meja, segera aku alihkan ke punggungku. Aku berdiri dari kursi, bersiap untuk meninggalkan kelas. Namun saat aku ayunkan langkah keluar dari barisan tempat dudukku. Seseorang menghentikanku dengan mencekal sebelah tanganku.

"Mau kemana? Lo ada janji, kan? Masa lupa," ujar orang itu.

Mendengar perkataannya seketika membuatku teringat sesuatu. Ya aku ada janji dengannya tadi. Aku akan berkunjung ke rumah Haura hari ini.

"Astagfirullah, Ra! Aku lupa," ucapku sambil cepat-cepat berbalik menghadap kepada Haura.

"Ih dasar pelupa! Untung gue lihat lo pergi, kalau nggak... Gue pasti marah sama lo," ungkap Haura penuh ekspresi.

Sekilas aku mengembangkan kedua sudut bibirku. "Marah aja kalau bisa! Aku yakin orang kaya kamu itu nggak bisa marah. Bisanya paling merajuk. Bener nggak?" godaku.

Haura memicingkan matanya ke arahku. Bersamaan dengan raut wajahnya yang berubah kesal.

"Ih nggak! Itu lo kali Sa... Lagian udah ah langsung pulang aja yuk!" Haura menggenggam tanganku, lalu menarikku keluar dari kelas.

Aku sekedar cakap untuk tersenyum saat ini. Haura selalu seperti itu. Mengalihkan situasi yang kira akan membuatnya terpojok atau kalah. Terkadang pula dia melakukan hal itu kalau ada pembicaraan yang mungkin bisa mengakibatkan pertengkaran. Aku senang dengan sikap Haura yang seperti itu.

Menurutku sikap itu sangat baik. Bisa menghindarkan diri dari pertengkaran. Bahkan karena sikap itu kita bisa menjaga kedamaian dalam pertemanan. Nampaknya aku juga harus menjadikan sikap seperti ini sebagai contoh untukku.

"Sa! Lo baik-baik aja?" tanya Haura.

"Hm... Emang aku kenapa?" jawabku bingung.

"Gue masih khawatir soal kejadian di toilet, Sa. Lo baik-baik aja kan?" ungkap Haura cemas.

Sekali lagi aku tersenyum kepada Haura. "Udah aku bilang. Aku baik kok Ra."

"Yakin Sa? Lo nggak trauma kan?"

"Ya nggak lah Haura. Aku yakin sama Allah, semua kejadian tadi itu kehendak dari-Nya. Aku juga yakin dalam setiap ujian-Nya ada jalan keluar. Makanya aku nggak akan mudah merasa trauma."

Aku lihat senyuman tercetak indah di bibir Haura. Aku rasa dia lega karena jawabanku.

"Gue salut Sa sama lo. Gue juga pengen kaya lo, bisa setegar dan sekuat itu dalam menghadapi masalah."

"Pasrahkan semua sama Allah Ra. Insyaallah, Allah akan selalu menuntun kita." Aku lihat Haura mengangguk.

Saat itu kami benar-benar terlalu fokus berbincang hingga tak sadar telah tiba di parkiran. Kami pun segera masuk ke mobil Haura.

Setelah kiranya siap, Haura mulai menjalankan mobilnya keluar dari sekolah. Tujuan kami sama hari ini. Yaitu ke kediaman Haura. Aku sudah pernah berjanji untuk menemui ibunya Haura. Jadi hari ini aku akan memenuhi janji itu.

"Bunda pasti seneng banget deh ketemu lo Sa. Udah sejak lama dia pengen ketemu."

"Oya? Aku juga udah nggak sabar ketemu bunda kamu," balasku.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang