2. Dia

69 10 0
                                    

Waktu yang terus berjalan, beriringan membopong pertemananku dengan Haura menjadi kian dekat seminggu terakhir ini. Kami selalu bersama-sama walaupun itu hanya ke kantin, perpustakaan, berkeliling sekolah, atau saat kerja kelompok di kelas. Kami seolah tak terpisahkan oleh apapun selama ini.

Seperti hari ini, saat istirahat pertama Haura mengajakku berkeliling dan memperkenalkanku setiap sudut di sekolah. Nyatanya banyak sekali tempat indah untuk sekedar menenangkan diri atau bersenda gurau dengan teman di sini. Sekolah baruku ini ternyata memang memiliki fasilitas dan tempat-tempat yang bagus.

"Tunggu! Kenapa kita ke gudang belakang?" ungkapku tatkala Haura membawaku ke gudang yang jarang di jamah orang.

"Khansa... Mau apa juga gue bawa lo ke gudang? Tempat yang mau kita datangi itu tepatnya ada di atas gudang." Haura tersenyum jahil.

Aku mengerutkan dahi tak mengerti. Sebenarnya Haura akan membawaku ke mana?

"Lo bakalan suka pokoknya kalau main ke atap sekolah. Di sana tuh adem banyak angin dan yang penting tempatnya sepi dan tenang. Cocok buat orang-orang yang lagi suntuk atau iseng cari angin," jelas Haura semangat. Lantas ia manarik tanganku dan berjalan menaiki sebuah tangga yang tak jauh dari pintu masuk gudang.

"Kalau kamu tahu atap berarti kamu sering ke sini ya? Ternyata kamu juga termasuk orang suntuk dong?" gurauku sambil terkekeh. Berhasil membuat wajah Haura jadi masam.

"Dasar tukang menyimpulkan sesuatu yang memang benar," gumam Haura mendumel sambil menekuk wajahnya. Aku jelas masih mendengar gumaman yang tak begitu pelan itu.

"Sebenarnya lo itu cenayang ya Sa?" tanya Haura sekenaya. Betul membuatku menekuk dahi heran.

"Bukanlah, kamu ini aneh deh Haura." Aku geleng-geleng kepala takjub. Lantas terus mengikuti Haura sampai di depan sebuah pintu bercat cokelat.

Haura mulai membuka pintu itu perlahan. Seketika hembusan angin menyeruak menyapu wajahku. Entah apa yang dibawa angin itu hingga baru membuka pintu hawanya sungguh membuatku tenang.

Detik berikutnya Haura menarik tanganku lagi untuk masuk ke area atap. Namun seketika itu pula kami berhenti. Tepat ketika mata kami melihat seorang siswa berdiri di depan pembatas atap.

Perlahan siswa bertubuh tinggi itu memutar kepalanya 90° ke arah kami. "Mau apa ke sini?" tanya lelaki itu datar sambil mengalihkan pandangan pada panorama di depannya.

"Aku lagi ngajak teman keliling sekolah. Lah Kak Fahri sendiri ngapain di sini?" balas Haura. Tampaknya Haura dan siswa itu saling mengenal. Aku kembali menyimak perbincangan mereka.

Siswa yang aku tahu bernama Fahri itu membalikan badannya menghadap kami. Melangkah mendekat kemudian melipat tangannya di depan dada.

"Jadi sekarang kamu udah punya teman ceritanya? Nggak takut diusir lagi sama Nabila?" tanya Kak Fahri dengan ekspresi meremehkan.

Sungguh aku jadi penasaran dengan hubungan mereka. Mereka itu sekedar teman, saudara atau... Tunggu. Dia... Bukannya dia yang waktu itu menemukan buku aku? Ya itu tidak salah lagi, dia orangnya.

"Nggak lah, kali ini aku nggak bakal biarin Nabila ganggu teman aku lagi. Karena dia istimewa dan tentunya beda dari yang lain," ungkap Haura.

Khansa's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang