19. Ayam panggang

423 35 2
                                    

Tepat pukul 11 malam, pesta telah usai. Hanya kami ber lima yang masih disini. Rencananya kami ingin mengadakan bakar-bakar, didepan rumah Syahril. Aku dan mbak Minah menggelar tikar untuk duduk. Om, mas Syahril, dan om Pardan  membantu menyiapkan alat panggangan.

"Eh bentar ya, aku ambilin dulu ayamnya, tadi udah aku bumbuin, santai." Ucap mbak Minah.

Mbah Minah pergi masuk, aku duduk terlebih dahulu ditikar. Mengamati kaum adam yang sedang bekerja.

"Nah ini ayamnya." Teriak mbak Minah gembira, dengan ayam yang sudah ia bawa.

"Udah ndak usah suwe-suwe, panggang wae langsung." Sambar om Pierre.

"Ih sabarlah om." Jawabku.

"Keburu lapar ni." Hahahaha, kami semua tertawa mendengar jawaban om.

"Yowis, ni ayamnya, buruan dipanggang." Timpal mbak Minah seraya memberikan ayamnya pada om Pierre.

Kami berdua duduk berdampingan. Didepan kami ada om Pardan dan mas Syahril. Hanya om yang memanggang ayamnya sendirian.

Oh ya, jaket om tadi sebelum aku duduk aku lepas dulu, jadi sekarang jaketnya ada digenggamanku. Suasana malam yang senyap. Hawa dingin yang menyeruak menusuk pori-pori. Semilir angin penyejuk menyambut tengah malam yang semakin sepi.

"Dingin ya mbak."

"Ha? Kamu kedinginan?"

"I-iya mbak."

"Kalau begitu, kamu tunggu disini dulu ya, aku ambilkan selimut untuk kamu."

"Eh ndak usah mbak."

"Ndakpapa, bentar ya."

"Ndak usah mbak." Sambil menggeret turun tangannya, yang tadi hendak berdiri mengambil selimut.

"Itu jaket saya, kamu pakai saja buat selimutan." Sambar om. Pandangannya masih fokus pada panggangan ayam.

"Ha? Om seriusan? Ndaklah."

"Ndakpapa, pakai saja, biar kamu ndak kedinginan, kalau kamu ndak pakai, nanti kamu masuk angin bagaimana?"

"Ya om yang kena omelah."

"Kamu mau saya kena omel?"

"Hehe ya ndaklah."

"Ya sudah manut apa kata saya."

"Iya iya, tapi ini serius?"

"Iya, pakai saja."

"Makasih ya om, besok aku cuci."

"Sudah ndak usah difikirkan."

Aku terenyuh akan kebaikannya. Ternyata ia sangat baik. Saking baiknya, nyawanya rela ia serahkan kepada Bangsanya. Aku mengenakan jaket om untuk menutupi kakiku.

"Kamu masih kedinginan Maudi?" Tanya mbak Minah.

"Ah, eng-enggak mbak."

"Ndak usah bohong, wajah kamu ndak bisa bohongin aku. Sebentar aku ambilin selimut."

"Eh ndak usah mbak."

"UDAH DIAM!!" Bentak mbak Minah. Aku jadi terpaku ditempat.

"Ini selimutnya, dipakai buat menyelimuti kakimu, jaketnya Pierre kamu pakai dibadan kamu." Suruh mbak Minah, saat sudah mengambil selimut.

"Emm, makasih mbak."

"Iya sama-sama."

Aku mengenakan selimut dan jaket sesuai perintah mbak Minah. Dan rasa dinginku telah berlalu. Tak ku sangka, aku bisa memeluk jaket yang ia kenakan saat malam peristiwa. Aroma wangi yang khas yang ia miliki menambah kesan hangat didiriku. Saat ini jaket ini bersih dan wangi.

Kamu Dan Segala Kenangan [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang