Bunga-bunga bermekaran, tanpa rasa malu. Warna indah yang terpancar dari kelopaknya sangat indah untuk dipandang. Hijaunya rumput menambah kesan tersendiri. Betapa bahagianya diriku di sini. Pepohonan yang tumbuh dengan rindangnya membuat tempat berteduh tersendiri bagi siapapun yang ingin menghindari teriknya mentari.
Bunga-bunga yang masih mudah tuk didapat di mana saja. Udara yang bebas dari polusi. Terlihat rumah-rumah yang berdiri disebelah sekolahan masih terbangun sederhana, khas rumah jaman dulu. Gedung-gedung bertingkat juga masih jarang ditemui disini.
Rasanya aku tak ingin kembali lagi. Aku masih ingin tetap di sini, sampai aku menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang masih bersarang di pikiranku. Pertanyaan tersebut serasa tak ingin menghilang begitu saja dari tempatnya. Ia ingin selalu menang dalam setiap situasiku.
Mencoba menghilangkan itu semua, aku berlarian di taman, tak peduli orang menilaiku seperti apa. Asalkan aku bahagia, dan kebahagiaanku tidak merugikan mereka, aku sih oke oke saja. Seketika mataku terpana akan hamparan bunga anggrek yang bermekaran disudut sana.
ANGGREK...
Bunga yang menyimpan kenangan mendalam bagi sang ibunda om Pierre. Teringat kembali kisah tersebut dalam pikiranku. Memang kenangan tidak bisa terlupakan begitu saja. Ia akan terus membekas tebal di memori kita. Terlebih kenangan bersama orang terkasih.
Aku yang tak ikut di tahun ini sudah bisa merasakan hal itu. Apalagi sekarang, aku yang sedang berada di sini. Antara senang dan sedih. Itu yang penggambaran perasaanku saat ini. Sudahlah aku langsung saja berlari ke hamparan bunga anggrek yang berjejer, bermekaran rapi.
"Kamu suka anggrek ya?" Tanya Siti.
"Jangan ditanya, bahkan aku saja tak tau aku suka bunga apa."
"Loh kenapa begitu?"
"Entah mengapa seketika saja, mataku terpana akan anggrek."
"Oh gitu to."
"Iya," di sini hanya ada kami berdua saja.
"Um...Siti."
"Ya?"
"Kamu suka kesini ya? Ke taman."
"Iya, memangnya kenapa?"
"Tidak. Kalau kamu kesini, kamu sama siapa?"
"Sendiri."
"Setiap hari kamu kesini?"
"Emm...tidak juga, saya kesini kalau mau saja."
"Oh gitu."
"Iya."
"Tempatnya bagus, instagramable."
"Hah? Apa itu?" Oh iya lupa, jaman dulu orang belum mengenal apa itu Instagram. Telepon pribadipun masih jarang yang punya.
Jangankan telepon pribadi, telepon rumah saja juga jarang yang punya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menggenggamnya.
Kalaupun telepon pribadi, juga belum secagih sekarang bukan? Fungsi telepon pribadi dulu, paling cuma buat telepon saja. Ngirim pesan saja masih banyak yang memakai surat.
Tapi itulah yang menjadi keindahan tersendiri. Tanpa adanya telepon canggih, hubungan sosial di antara satu dan lainnya dapat terjalin dengan harmonisnya. Tidak seperti sekarang, yang saat kumpul saja masih sibuk main handphone masing-masing. Di mana waktu kebersamaannya? Oke lanjut saja.
"Eh itu, maksudnya tempatnya bagus buat foto-foto."
"Iya, tapikan tidak ada kamera di sini," oke besok aku bawa HP saja, eh apakah boleh. Emm kalau nggak, aku minta tolong sama om, kalau mau menjeputku sekalian HP ku dibawa, jadi aku bisa foto-foto deh. Kalau aku bawa HP ke sekolah, yang ada nanti aku dimarahi. Okelah ikuti cara yang pertama saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Dan Segala Kenangan [REVISI]
Historical FictionCerita ini bergenre fiksi sejarah, namun tidak pure 100% berisi fakta sejarah. Hanya 20% saja kisah sejarah yang tercantum didalamnya, sisanya berdasarkan imajinasiku. Cerita yang mengusung tema tentang sejarah kelam yang pernah terjadi di Negara ki...