11. Perpustakaan

449 39 0
                                    

Seperti janjiku tadi siang saat di sekolah. Bahwa sore ini aku akan pergi dengan Siti ke perpustakaan. Selesai shalat ashar, aku menunggu Siti di teras depan. Sambil mendengarkan musik yang merdu suaranya. Menatap indah langit sore. Menghirup udara sejuk kota Jakarta.

Tak sesekali aku menengok ke arah paviliun ajudan. Dan hasilnya nihil, tak ada seorang ajudanpun yang duduk di depan paviliun. Biasanya om yang duduk di sana. Namum hari ini tumben menghilang entah kemana. Oh mungkin sehabis makan siang tadi, dirinya dan pak Nas kembali bekerja. Karena tadi sehabis makan siang, aku langsung ke kamar.

Sore ini aku mengenakan dress milik Yanti dengan motif polos berwarna putih. Karena aku tidak suka yang terlalu meriah motifnya. Kalau ada yang polos, ya aku milih pakai yang polos. Kalau nggak ada ya cari yang motifnya tidak ramai. Lima menit sudah ku menunggu, namun Siti belum juga tiba. Oke sabar dulu Maudi.

Dan di dua menit setelahnya, barulah Siti tiba di sini. Aku langsung menghampiri Siti yang berhenti didepan gerbang. Namun dirinya malah celingukan mencari seseorang, bukannya menyapa diriku terlebih dahulu, bukan berharap disapa. Tapi aku di sini lo Siti, kau anggap diriku menghilang kah? Ya tentu saja bisa ku tebak dengan pas, kalau yang sedang ia cari adalah om Pierre.

"Om Pierre lagi nugas," ucapku, sebelum ia bertanya.

"Yah tidak bertemu dong."

"Ya mau bagaimana lagi, eh tapi aku juga nggak tau, mungkin lagi nugas, soalnya pak Nas juga nggak ada di rumah."

"Oh gitu ya. Ya sudah ayo kita ke perpustakaan."

"Ayo, biar aku saja ya yang boncengin kamu."

"Loh ya janganlah, biar saya saja."

"Udah diam di tempat kamu Siti!!"

"Loh."

"Sudah biar aku saja yang menggayuh, sudah lama juga tak naik sepeda."

"Baiklah, terserah kamu saja."

"Oghey, kita cusss."

"Apa itu?" Tanya bingung akan ucapanku.

"Eh maksudnya, baiklah kita berangkat."

"Ayooo," teriaknya antusias.

Disepanjang perjalan, kami bercerita tentang banyak hal. Namun lebih banyak Siti sih, karena aku tak ingin bila aku harus keceplosan lagi, kan ribet urusannya. Mana waktu tidak mendukung lagi, kalau misalkan aku keceplosan.

Ternyata sangat menyenangkan tinggal di jaman dulu.

Suasana asri yang masih amat terjaga. Masih banyak hutan yang dengan mudah kita temui, tidak seperti tahun 2020an. Yang kebanyakan hutan dan sawah hilang tertimbun bangunan baru, seperti rumah, gedung maupun industri.

Susana yang sangat dingin di pagi, sore, dan malam. Sungai-sungai yang masih menyimpan air bersih, dengan mudah kita temukan. Tidak apa polusi, tidak ada pencemaran.

Namun ada penghianatan. Dan itu akan terjadi ditahun yang ku pijaki sekarang. Tahun 1965, tahun sejarah kelam Bangsa ini. Tepatnya di bulan September, tanggal 30. Sepertinya untuk kali ini, aku tidak memikirkan itu dulu, daripada aku keceplosan. Eh tapi kira-kira aku di sini sampai kapan ya.

                              ~~~~

Hingga tak sadar, kami sudah sampai di perpustakaan. Ya tadi aku yang menggayuh, tapi Siti yang menunjukkan jalannya. Aku mana tau. Tempatnya sudah berubah, beda. Kami memarkirkan sepeda terlebih dahulu. Kemudian masuk dengan memberikan kartu peminjaman milik Siti. Aku hanya mengikuti Siti dari bekalang.

Nanti masalah meminjam, aku titip sekalian di kartu Siti, karena aku tak ingin membuatnya. Karena aku tak lama di sini, mungkin. Setelah mendapat izin, kami memilih buku yang ingin kami baca.

Aku tak tau buku zaman dulu itu bukunya apa saja. Okelah, sebaiknya aku mencari buku sejarah saja. Siapa tau ada. Dan di sini tidak ada buku yang bisa memikat hatiku. Ya sudah deh, nanti aku baca di wattpad saja novel-novelnya.

"Loh kamu tidak pinjam buku Di?"

"Eh, enggak Sit, nggak ada yang memikat hatiku, Hehe."

"Oh gitu, ya sudah kalau begitu saya kesana dulu, ni mau ditanda pinjam."

"Oke, kalau begitu aku tunggu diluar ya."

"Baiklah," akupun keluar. Menunggu di sepeda.

                             ~~~~

Mungkin mendengarkan musik enak kalik ya. Oke deh, aku nyetel musik saja. Siti lama banget sih. Ya sudah aku harus sabar menanti.

Tak sesekali aku menatap kearah langit, entah ada apa di sana. Saat ku menurunkan kepala dan menengok ke kanan. Tak sengaja aku melihat seorang kakek dengan naik sepeda berkeliling jualan. Tak tau jualan apa. Aku mengecek saku celana. Oke aku bawa uang. Ku panggil sang kakek agar kakek mau berhenti terlebih dahulu, sekalian istirahat, sangat terlihat ia begitu kelelahan. Lalu ku hampiri dirinya.

"Kakekk," teriaku. Kakek itu akhirnya berhenti.

"Kakek jualan apa?" Setibaku dihadapan si kakek tadi.

"Ini mbak, ya jualan kue-kue mbak." Kakek ini masih terlibat kuat, walau usianya sudah begitu banyak. Kira-kira 70 an.

"Kue apa saja kek."

"Ini ada kue basah, sama kue kering mbak."

"Emm saya beli semua deh kek."

"Seriusan mbak."

"Iya kek."

"Tunggu sebentar, kakek bungkus dulu."

"Iya kek," kue kakek ini kira-kira ada 20 buahan lah. Sudah mau habis, ya sudah aku borong saja.

"Berapa kek?"

"Lima ribu saja mbak."

"Hah, serius kek?"

"Iya mbak." Ah benar-benar enak sekali hidup di zaman dulu, harganya masih murah-murah. Di saku ku ada 20.000. Aku beri saja semuanya buat kakek. Di 1jaman dulu uang segitu sudah dapat berbagai macam barang ya.

"Ini kek uangnya."

"Ini uang berapa mbak? Dan uang mana?" Oh iya, bentuknyakan berbeda ya. Duh bagaimana ini. Apakah kakek ini yakin kalau uang ini asli uang Indonesia.

"Eh ini uang rupiah kek."

"Tapi kok berbeda?"

"Eh i-iya kek, tapi kakek tak usah khawatir, ini uang Indonesia kek, asli. Kakek tolong terima ya."

"Ta-tapi ini beneran mbak?"

"Iya kek benar, suatu saat anak atau cucu kakek akan mendapatkan uang seperti ini banyak."

"Anak kakek masih pada sekolah mbak, yang sudah menikah baru satu."

"Oh begitu ya kek, ya intinya kakek tolong diterima ya."

"Makasih ya mbak."

"Iya kek, sama-sama."

Kakek itu pergi melanjutkan menggayuh sepeda. Sang kakek kembali pulang. Pasti kakek itu bingung. Mau bagaimana lagi, aku cuman punya uang itu. Itupun aku temui di casing handphoneku. Untung sudah ku ambil. Eh tapi kakek itu percaya gak ya. Ah sudahlah, intinya aku tidak berbohong.

Siti sudah selesai dengan meminjam buku. Sekarang kita meluncur pulang. Kali ini Siti yang menggayuh. Namun kali ini perjalanan kami diselimuti suasana hening. Tak ada topik. Topik sudah habis, digunakan pada tadi saat berangkat.











Kamu Dan Segala Kenangan [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang