22. Hujan

442 46 4
                                    

Sore hari seusai upacara aku sempat mampir dulu ke rumah Siti, tuk bermain saja. Dan sekarang aku memutuskan untuk pulang. Dan sayangnya, hari ini hujan, nggak ada yang mengantar ataupun menjemput, karena aku yang minta. Aku berjalan sendirian, tak apalah sekalian bermain hujan-hujanan, kapan lagi kan ya.

Setibanya didepan rumah pak Nas, sengaja jalanku ku perlambat. Karena aku masih ingin menikmati setiap tetes air hujan yang turun membasahi tubuhku. Ku pikir tidak akan ada yang melihat diriku, nyatanya aku salah. Ternyata ada yang sedaritadi menatap gerak-geriku. Seperti apa saja aku ini.

"Maudiii, kenapa masih disitu, buruan masuk." Teriaknya. Ya siapa lagi kalau bukan om Pierre.

Aku hanya menoleh, menatapnya sejenak. Karena pandanganku kabur akan air hujan, aku jadi tak tau jelas dirinya dimana. Mungkin di depan pavilliun. Yang ku lihat dirinya mengenakan pakaian hijau-hijau. Ya tentulah, karena dia baru saja selesai tugas.

Bukanya menjawab dirinya, ataupun mematuhi. Jalanku malah semakin lambat. Aku ingin menikmati indahnya hujan. Lama tak menikmati seperti ini.

"Maudiiii." Teriaknya lagi.

"Apaaaa." Baru ku jawab dirinya.

"Buruan masukkk."

"Ndak mauuu."

"Masuk Maudi."

"Ndak mau om."

Ku pikir dirinya sudah tidak menyuruhku lagi. Karena permintaannya sudah ku tolak tiga kali. Tapi ternyata dugaanku salah. Sekarang aku tidak merasakan rintihan hujan menetes membasahi kepalaku lagi.

Apakah hujanya sudah berhenti? Tapi didepanku masih deras. Akupun memutuskan tuk melihat keatas. Melihat ada apa disana. Saat ku lihat, terkejut aku. Bagaimana tidak, ternyata diatas kepalaku ada telapak tangan besar yang sedang menutupi kepalaku. Saat ku tatap dirinya, ternyata dia berpindah tempat. Merelakan dirinya basah untuk melindungiku.

"Om, ngapain?"

"Nutupin kepalamu, agar tidak basah."

"Ih om, percuma, aku juga udah kuyub."

"Ya maka dari itu, agar tidak tambah kuyub."

"Lalu om sendiri gimana? Om jadi basah gitu."

"Tak apa."

Tanpa disadari seutas senyum merekah dibibirku. Berasa di drama-drama. Eh tapi ingat Maudiii, om udah punyaaa.

"Ke pavilliun dulu."

"Kenapa harus kesana?"

"Kalau kamu langsung ke depan, nanti rumah bapak jadi becek."

"Ya kan lewat belakang dong."

"Sudah ke pavilliun dulu saja."

"Ya sudah."

Kamipun berdiri didepan pavilliun. Mengeringkan tubuh sejenak. Namun tetap saja seperti tidak ada hasil apa-apa.

"Om aku langsung kedalam saja ya."

"Ya sudah, tapi langsung kebelakang, langsung ke kamar mandi."

"Iya."

"Ya sudah ya."

"Ya."

Berjalan lewat belakang rumah. Sudah seperti maling saja. Jalan sambil jinjit. Dan langsung ke kamar mandi. Setelahnya melaksanakan shalat. Dan membantu bu Nas didapur.

                                °°°°

Malam hari tiba, seusai shalat isya', aku menutuskan untuk duduk diteras depan. Menikmati indahnya malam bertabur bintang.

Sepintas ingatanku kembali ke sesuatu. Ini sudah bulan Agustus. Dengan menghitung hari saja sepertinya bisa. Satu bulan tersisa. Menghela napas berat, menatap langit malam.

Disinilah, rasa sesaku mulai terasa. Karena aku akan meninggalkan mereka sebentar lagi. Atau bahkan aku akan menyaksikan kejadian kelam itu.

Ahhh jangan sampai, aku tak sanggup jika harus menyaksikannya. Bahkan aku tak ingin semua ini terjadi. Namun ini semua sudah takdir. Apa dayaku.

Kita yang merencanakan,
Dan Allah lah yang menentukan.

Harapanku hanya satu, aku bisa bertemu mereka lagi dilain tempat. Yakni Surga.

Itu yang ku inginkan. Aku ingin bertemu pak Nas lagiiii. Kalau aku keluar dari sini. Hanya tersisa Ibu Yanti, yang sekarang disini ku memanggilnya Yanti.

"Hayoo." Kagetnya.

"Eh om, kaget tau."

"Kamu itu lagi memikirkan apa?"

"Bukan apa-apa."

"Kamu ndak mau membagi ceritamu dengan saya?"

"Cukup aku saja yang menanggung rasa rindu yang mendalam ini. Ups." Sambil menutup mulutku.

"Rindu?"

"Eh nggak itu, keceplosan."

"Yakin?"

"Iya om."

"Ndak ada yang sedang kamu sembunyikan to?"

"Ndak."

"Kamu baik-baik saja to?"

"Iya aku baik."

"Syukurlah."

Hanya bisa menatapnya dengan senyuman palsu. Sebuah senyum yang kugunakan tuk menutupi air mata dihatiku.

"Ya sudah, sudah malam, tidur."

"Iya om, om juga ya, jangan malam-malam tidurnya."

"Iya."

"Selamat malam om."

"Malam juga Maudi."

Sebuah tawa kecil muncul dibibirnya. Membuat hatiku sedikit tenang memandangnya. Dan aku juga tak kuasa menahan air mata. Langsung saja aku masuk dan menutup pintu utama.

Barulah aku berlari kekamar. Disinilah aku bisa mencurahkan semua perasaanku. Berusaha menenangkan diri sejenak. Barulah kemudian tidur. Agar semua rasa lelah menghilang dikemudian hari.

Semua yang mereka berikan kepadaku, takan pernah ku lupakan. Sangat banyak yang mereka berikan untuk Negeri ini.

Aku sadar, sebagai penerus Bangsa, aku belum sepenuhnya melaksanakan tugas-tugasku sebagai penerus.

Bayang-bayang mereka akan selalu menggelayut dipikiranku. Terlebih Ade. Bidadari kecil yang manis nan cantik.

Suara nyaringnya takan lagi ku dengar, saat ia pergi nanti. Senyumnya berubah menjadi air mataku. Lari-lari kecilnya, mengelilingi pikiranku. Ia gugur sebagai perisai sang ayah. Surga untukmu sayang.

Ya Allah, aku sampai lupa inikan aku masih di tahun 1965. Aku harus bersikap seolah-olah aku tak tau apa-apa. Ya sudahlah, kembali lagi besok dunia tipu-tipu.NYa karena banyak tipuan didiriku yang kuberikan pada mereka.

Salah satu contoh, adalah sebuah senyuman. Senyumanku tak sepenuhnya tulus dari hati. Ada beberapa senyum yang hanya ku gunakan sebagai topeng. Bahkan hampir seluruh senyum.

Selamat malam. Selamat menyambut hari esok.















Maaf baru publis

Kamu Dan Segala Kenangan [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang