Sore hari pun tiba, di mana ini adalah waktu yang sangat ku nanti-nanti dihitung sejak pagi tadi. Selesai shalat Ashar aku langsung bergegas mandi dan berkemas.
Kali ini aku memakai baju coat dan celana jeans panjang. Tak lupa memakai jilbab, karena nanti sekalian ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Baju coat yang ku pakai berwarna coklat, dengan kaos putih sebagai daleman, dipadukan dengan celana jeans, dan jilbab berwarna hitam.
Setelah selesai berkemas, aku berjalan ke arah kamar Abang. Ku ketuk pintunya, dan dibukalah pintu itu. Ku dapati seseorang yang mengenakan kaos hitam dan celana jeans panjang. Sederhana namun terlihat keren.
"Ayo Bang, aku udah gak sabar ni."
"Iya udah turun dulu sana."
"Okey."
Lalu aku turun ke bawah menuju garasi mobil. Abang pun menyusul di belakangku. Lalu Abang mengeluarkan mobilnya, dan aku masuk ke dalam mobil. Kemudian kita pun meluncur ke tempat tujuan yang telah direncanakan.
Sesampainya di Monumen Pancasila Sakti, Abang memarkirkan mobilnya. Kemudian kami masuk ke dalam, membeli tiket terlebih dahulu. Dan langsung masuk, setelah dua tiket ada digenggaman kami.
Kami berkeliling, mengelilingi monumen penuh kenangan ini. Saat pertama masuk, suasana seketika berubah tak karuan. Antara serem, sedih, sesak, dan lain sebagainya. Suasana yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Aku memasuki ruang Diorama, di mana disini terdapat patung-patung kecil yang menggambarkan kejadian pada malam itu. Sungguh hatiku langsung tersayat melihatnya. Tanpa ku sadari, buliran bening seketika jatuh membasahi pipiku.
Aku benar-benar bisa merasakan keadaan malam itu. Bulu kuduk ku pun langsung merinding. Bukan karena takut, tapi sedih. Merinding karena melihat sekejam apa mereka, meskipun hanya melihat Diorama tapi rasanya begitu sampai dihati.
"Eh nangis?" Ucap Abangku setelah mendapati pipiku yang sudah basah.
"Sedih tau Bang."
"Abang juga bisa merasakannya. Diorama ini dibuat semirip mungkin dengan peristiwa aslinya, maka dari itu kamu bisa merasakan bagaimana suasananya," Maudi hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Jika kamu ingin menangis, maka menangislah. Abang tau dirimu rindu kepada mereka, dirimu ingin bertemu mereka. Namun itu semua tidak bisa, mereka sudah tenang di sana," lagi-lagi hanya anggukan yang Maudi berikan. Jujur saja ia sudah tak kuasa ingin mengatakan sepatah katapun, rasanya untuk menghirup pasokan oksigen saja begitu sulit bagi Maudi.
"Maaf sudah membuat tuan putri ini menangis. Intinya kita sebagai penerus jangan pernah melupakan sejarah, kita memang tidak melihat langsung kejadiannya, juga tidak merasakannya, tidak juga menyaksikan langsung perlawanan mereka, namun jejak-jejak sejarah mereka masih berpijak pada bumi pertiwi. So...jangan melupakan sejarah oke, ingat pesan Ir. Soekarno, JAS MERAH."
"Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah."
"Pinter banget adek Abang ini," Rendi mengelus pucuk kepala Maudi dengan lembut.
"Iya Abang, ternyata Abang bisa jadi orang yang cerewet juga ya. Aku pikir selama ini pasokan kata Abang cuma dikit makanya jarang ngomong, hehe," melihat ekspresi Rendi yang mendadak datar, Maudi hanya bisa tertawa kik-kuk.
"Bercanda Bang," menepuk bahu Rendi cengengesan.
"Hem."
"Eh Bang ke ruang relik yuk."
"Abang ngikut."
Kakiku sepertinya sudah tidak sabaran untuk kesana.
"Siapin tisu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Dan Segala Kenangan [REVISI]
Исторические романыCerita ini bergenre fiksi sejarah, namun tidak pure 100% berisi fakta sejarah. Hanya 20% saja kisah sejarah yang tercantum didalamnya, sisanya berdasarkan imajinasiku. Cerita yang mengusung tema tentang sejarah kelam yang pernah terjadi di Negara ki...