Battle : I (Never) Leave You

2.2K 236 173
                                    

Penyesalan memang selalu datang di akhir, bukan? Rasa sesal memenuhi dada Hanji. Ia masih duduk bersimpuh di antara puing-puing bangunan. Raganya ia paksakan untuk tetap kuat, tetapi hatinya tidak pernah bisa untuk ia paksakan kuat. Pertarungan belum usai, tetapi ia sudah kehilangan banyak hal. Menyesali dalam hati mengapa tidak lebih awal untuk jujur terkait perasaannya.

Mengabaikan sebelah matanya yang terluka—bahkan mungkin mata sebelah kirinya tidak mampu untuk melihat lagi. Penglihatannya hanya melihat kehancuran. Api pun sudah membakar sebagian Shinganshina. Kala dunia yang tadinya begitu nirmala, sekejap berubah menjadi seperti neraka.

Namun, kali ini ia harus bisa tegar karena sudah tidak ada lagi sosok yang akan membantunya untuk bangkit dari keterpurukan. Juga, ia harus bisa terbiasa tanpa Moblit—sosok pria yang paling sabar menghadapinya.

Di sisi lain, anggota pasukan Levi sedang menyusun rencana untuk mengalahkan colosal titan yang tidak berhenti memorak-porandakan Shinganshina. Bahkan, kota ini sudah hampir hancur. Armin menundukan kepalanya. Mengapa disaat genting seperti ini ia malah tidak bisa memikirkan satu rencana pun?

"Armin, apa kau memiliki rencana? Kita tidak bisa terus berdiam sampai terkena api atau reruntuhan bangunan, kan?" tanya Sasha.

Armin tertegun mendengar perkataan Sasha. Mikasa yang menyadari hal tersebut menepuk pelan pundak Armin. "Armin, tenanglah. Kami membutuhkanmu sekarang."

Perkataan Mikasa tidak juga membantu dirinya untuk bisa berpikir lebih jauh. Ia menganggap semua ini adalah kesalahannya. Ia salah memperkirakan tindakan Bertholdt.

"Jean... aku serahkan semuanya padamu," ucap Armin.

Tentu saja perkataan Armin menuai sanggahan dari sang pemilik nama. "A-apa maksudmu, Armin?!"

"Jean, dengarkan aku. Aku sudah salah memperkirakan tindakan Bertholdt. Kau bisa lihat sendiri akibat dari tindakanku."

Jean berpikir sejenak. Ia tidak memiliki pengalaman sedikit pun dalam memimpin. Namun, melihat keadaan seperti ini berdiam diri tanpa memutuskan suatu tindakan pun merupakan hal yang salah. Ia memejamkan matanya sebentar, mencoba berpikir jernih. Jean meyakinkan dirinya sendiri bahwa apapun keputusannya, ia yakin itu adalah yang terbaik.

"Baiklah, Armin. Aku bisa membaca situasi di sini, tetapi selebihnya aku masih tetap membutuhkanmu, Armin."

Jean menjeda kalimatnya, "Eren, bawa kita ke dekat sungai. Tidak ada pilihan lain, kita harus mengalahkan Bertholdt di sini."

Anggota pasukan Levi menaiki Eren. Mereka harus menghemat gas yang tersisa. Dengan jumlah orang yang tersisa—hanya pasukan Levi—rasanya sedikit mustahil untuk menghentikan Bertholdt-colosal titan.

Colosal Titan memiliki kemampuan untuk mengeluarkan uap panas dari tubuhnya. Uap tersebut bahkan membuat maneuver gear mereka terpental. Dapat dikatakan ini sedikit mirip dengan misi bunuh diri.

"Aku rasa kita butuh pengalihan perhatian dan salah satu orang harus menyerangnya secara diam-diam," ucap Jean dengan pelan.

"Bukankah itu terlalu beresiko? Untuk menghentikannya kita harus menyerang tengkuknya, sedangkan maneuver gear saja tidak bisa kita gunakan," ujar Connie.

"Tidak. Aku akan melakukannya," ucap Mikasa dengan tegas.

"Mikasa! Kau bisa terluka —"

Mikasa menghela nafasnya dengan berat. Dalam benaknya ia berkata, tidak mungkin dalam suatu misi tidak ada yang terluka. Setidaknya ini adalah satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan.

"—Sasha, bukankah terluka dalam suatu misi adalah hal yang lumrah bagi kita? Lagipula aku bisa menghadapinya."

Sial. Keadaan sekarang benar-benar menempatkan mereka pada keadaan serba salah. Jean menatap titan Eren. Setidaknya terpikirkan satu rencana dalam benaknya. Mungkinkah titan Eren dapat memperlambat jalannya colosal titan tersebut?

The Sound of The Rain [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang