Suara langkah kaki semakin terdengar. Mikasa menyembunyikan dirinya di belakang pohon, mengepalkan kedua tangannya. Bersiap-siap jika saja ia harus bertarung. Langkah kaki itu terdengar dari arah sampingnya, ia keluar dari tempat persembunyiannya dan berancang-ancang melayangkan pukulannya.
"Aaaa!" teriakan melengking memekakkan telinga Mikasa.
"Sasha! Apa yang kau lakukan?" tanya Mikasa. Untung saja ia belum sempat melayangkan pukulannya. Bisa dibayangkan apa jadinya Sasha jika Mikasa terlanjur memukulnya.
"Kau jangan marah, Mikasa! Aku mengikutimu kesini." Sasha menjeda sejenak perkataannya. Detak jantungnya masih belum normal, bayangkan saja seseorang tiba-tiba muncul dari balik pohon hendak memukulnya. Ia sudah takut kalau itu hantu.
"Tadi malam aku melihatmu memasak olahan kentang dan memakannya bersama heichou. Aku ingin kau membantuku membuatnya, kumohon Mikasa!" Sasha menatap Mikasa dengan pandangan penuh harapan.
E-eh, tunggu! Sasha melihatnya tadi malam bersama Levi. Wajah Mikasa memanas, rona merah samar-samar menghiasi pipinya, "E-eh?" tanya Mikasa bingung.
Sasha tiba-tiba menarik tangannya. Mikasa tidak bisa menolak lagi, bagaimanapun ia menolak, Sasha tetap akan memohon-mohon padanya. Sasha dan makanan memang tidak terpisahkan.
Lagipula, sepertinya Levi juga tidak akan menghampirinya, mengingat ia sedang berada di Distrik Trost bersama Erwin danchou. Tanpa Mikasa sadari, dirinya selalu mengharapkan eksistensi Levi dalam kesehariannya.
***
Erwin dan Levi sedang berbincang-bincang mengenai harapan bagi survey corps ke depannya. Erwin memperhatikan Levi yang terlihat lebih hidup sekarang, irisnya tidak lagi kelam —terlihat lebih hidup dan terisi.
Melihat Levi membuat Erwin mengingat masa lalu mereka. Di mana pada awalnya Levi berencana membunuhnya, namun malah menjadi rekan yang dituntut saling percaya. Sejujurnya, Erwin turut merasa bersalah saat melihat kedua sahabat Levi terbunuh. Karena bagaimanapun semuanya tidak akan terjadi jika ia memberitahu Levi bahwa ia sudah tahu rencana mereka.
Levi mengalihkan pandangannya keluar jendela, sejenak memandang bintang yang menghiasi langit malam. Levi tiba-tiba mengingat seorang gadis yang belum lama ini banyak menginvasi pikiran — dan hatinya tanpa ia sadari.
"Levi, kau sudah bisa berdamai dengan dirimu sendiri?"
Fokus Levi berganti, ia menatap Erwin, "Maksudmu?"
"Tidak, aku hanya bertanya."
Erwin adalah orang yang membuatnya mengerti cara untuk mengambil langkah baru. Saat kehilangan Isabell dan Farlan, Erwin berkata padanya —Jangan pernah menyesali apa yang telah terjadi, sekarang kau dituntut harus memilih, terus berada dalam penyesalan atau bangkit.
Perkataan itu membuat Levi bisa menaruh kepercayaannya pada Erwin.
"Sudah tengah malam, aku akan kembali ke markas."
"Baiklah."
Mikasa terduduk di meja makan, ia sendiri pun tidak mengerti apa yang ia lakukan sekarang. Hanya terduduk diam, hatinya seperti menunggu kedatangan seseorang. Rasanya aneh jika satu harinya tidak bercerita atau mendapat ejekan dari sang kapten. Sebut saja Mikasa gila, walaupun ia memang sedang berada dalam kegilaan disaat ia terus berdebat dengan dirinya sendiri. Sungguh, hal terburuk bagi Mikasa adalah berdebat dengan diri sendiri.
Levi memacu kudanya dengan cepat. Sesekali mencuri pandangannya pada bintang di langit. Pikirannya dipenuhi oleh wajah seorang gadis, ia pikir ia sudah gila. Apa sebenarnya mau Mikasa sampai-sampai memenuhi isi pikirannya? Yang ia inginkan saat ini hanyalah melihat Mikasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of The Rain [COMPLETED]
FanfictionAh, kebahagian? Bahkan rasanya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bahagia. Aku hanya berjalan mengikuti alur waktu membawaku. Satu hal yang aku tahu, aku sangat membenci hujan. Sampai suatu hari, ia datang dan membuatku menyukai saat langit...