The True Feelings

2.4K 281 57
                                    

Sudah lewat tengah malam, tetapi Mikasa masih terjaga. Otaknya terus memutar kejadian di danau tadi. Mengapa Levi selalu peduli dengannya? Dan yang paling menjadi inti dari ributnya pikiran Mikasa adalah mengapa jantungnya selalu berdebar kencang saat bersama Levi.

Berpikir seperti ini membuatnya merasa sangat lapar. Saat hendak menuju dapur, ia melihat Levi yang sedang berdiam diri memperhatikan beberapa kertas, sepertinya perintah dan strategi dari Erwin. Mendadak jantungnya berdebar kencang lagi, ia memutuskan kembali ke kamarnya sebelum suara Levi memenuhi pendengarannya.

"Oi, sedang apa?" tanya Levi.

Mikasa berbalik, "A-aku lapar." jawab Mikasa.

Levi hanya mengangguk dan kembali mengalihkan fokusnya pada kertas-kertas itu. Mikasa bimbang harus kembali ke kamarnya atau melawan rasa malunya. Di satu sisi ia sangat lapar.

'Ayo lupakan, Mikasa. Urusan perutmu lebih penting.' ucap Mikasa dalam hati.

Mikasa melewati Levi yang masih saja fokus dengan kertasnya. Ia menyiapkan bahan-bahan, sepertinya ia akan membuat jaga bata - kentang rebus dengan mentega, garam, dan kecap. Ia memotong bahan-bahan tersebut dengan cepat. Mikasa sangat ahli dalam memasak. Saat kecil ia selalu membantu ibunya dan ibu Eren.

Ia menoleh memperhatikan Levi. Apa Levi sudah makan? Tch, untuk apa juga ia peduli? Tapi, Levi selalu berbuat baik padanya. Lagi-lagi keterikatan balas budi menutupi perasaan pedulinya.

"Heichou, kau sudah makan?" tanya Mikasa.

Levi menatap Mikasa, "Belum."

"Akan kubuatkan kalau begitu."

Levi cukup terkejut dengan respon Mikasa, "Tidak usah, kau buatkan aku teh saja."

Tidak mendapat jawaban, Levi menatap punggung Mikasa. Rambut hitamnya tergerai indah, badannya yang ramping, mengingatkan ia pada sosok ibunya. Ia juga mengakui, Mikasa memiliki beberapa kemiripan dengannya. Mungkin, hal itu yang membuatnya bisa merasa nyaman dengan Mikasa.

Mikasa membawa nampan berisi 2 piring dan 2 gelas teh. Levi mendecih, "Sudah ku bilang aku hanya ingin teh -"

"-dua piring ini untukku." ucap Mikasa sambil menaruh piring dan gelas di meja.

Levi menatapnya dengan tatapan kesal. Ia pasti merasa sangat malu. Mikasa terkekeh, "Bercanda, ini untukmu. Aku tahu kau lapar, aku tidak akan meracunimu." ucap Mikasa.

"Cih, memangnya kau bisa memasak, bocah?"

"Ya sudah sini kembalikan!" ucap Mikasa.

Levi tertawa kecil, "Rakus." ucapnya lalu melahap makanan itu. Ia terkejut, rasanya sangat enak. Ia tidak menyangka gadis seperti Mikasa bisa memasak.

Mikasa terkejut mendengar Levi yang tertawa kecil, "K-kau apa kau sadar kau tertawa?" tanya Mikasa.

Levi menaikkan sebelah alisnya. Ia bahkan tidak sadar ia tertawa. Bersama Mikasa, ia bisa bebas mengekspresikan apa yang ia rasakan. Dan hanya dengan gadis itu ia bisa tersenyum kembali.

"A-ah lupakan! Enak?" tanya Mikasa.

"Tidak buruk," Jawaban Levi membuat Mikasa tidak merasa puas. Ia menatap mata Levi dengan tajam, mencoba mencari kepastian.

"Aku yakin ini sangat enak."

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan tajam ke arah mereka, 'Aku juga sangat lapar, tapi hatiku melarang untuk mengganggu mereka.'

***

Pagi harinya anggota survey corps sedang bersih-bersih. Levi memerintahkan mereka untuk membersihkan rumah tersebut. Ia bilang, rumah ini sudah sangat kotor. Padahal, hanya ada beberapa debu di bagian-bagian tertentu. Dasar maniak kebersihan.

The Sound of The Rain [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang