Nayanika gelapnya terbuka secara perlahan. Ia terbaring di atas rerumputan yang begitu hijau memanjakan mata. Saujana, ia mendapati dirinya di tempat yang tidak ia kenali.
Dengan tergesa gadis itu terduduk, menelisik keadaan sekitarnya. Tunggu, ia mengenali tempat ini. Ia pernah mendatanginya—saat mimpi waktu itu. Tak lama kemudian ia perlahan mengingat kejadian yang menimpanya beberapa waktu lalu.
Perlahan air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Bibirnya bergetar menahan isak tangis. Tangannya meremat baju yang ia gunakan.
Ia meninggalkan kekasihnya. Ia telah pergi ke suatu tempat yang begitu aksa. Tempat yang dikatakan sebagai tempat yang amerta. Menyalahkan takdir atas segala yang terjadi? Tidak sama sekali. Mikasa hanya menyesali mengapa di antara jutaan pilihan, ia harus terjebak dalam pilihan ini.
"Levi..." lirihnya. "Maaf aku mengingkari janjiku."
Kala ia sibuk menangisi takdirnya, ia mendapati uluran tangan tepat di hadapan wajahnya. Lantas ia menegakkan tubuhnya, netranya membulat saat mengetahui siapa yang ada di hadapannya.
"Kita bertemu lagi, Mikasa," ucap seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam tergerai.
Mikasa tidak menerima uluran tangan itu. Ia malah menangis semakin kencang. Isakannya begitu menyayat hati. Ia tidak ingin pergi, ia tidak ingin meninggalkan Levi di sana sendirian.
Kuchel mendudukan dirinya di hadapan Mikasa. Membawa gadis itu ke dakam pelukannya. Tubuh Mikasa semakin bergetar, diikuti dengan isakannya semakin keras. Disela isakannya, ia merapalkan satu nama; Levi.
"A-aku tidak ingin pergi —hiks." Mikasa terisak, dalam hatinya terus bertanya, mungkinkah ada cara untuk kembali setelah semuanya terjadi?
"Mikasa, tenanglah," ucap Kuchel sambil mengelus punggung Mikasa.
Agaknya, bertemu dengan Kuchel membuatnya ingat suatu hal. Kuchel pernah mengatakan jika ia selalu mengawasi Levi dari atas sini. Jika perkataan itu ialah kebenaran, berarti dirinya memiliki kesempatan untuk melihat Levi, kan?
Kendati ia pun menyadari, Levi tidak akan melihatnya.
"Bisakah aku melihat keadaan Levi? Kau bilang kau selalu mengawasinya dari sini, kan?" tanya Mikasa menggebu-gebu.
Kuchel mengangguk. Kala Mikasa menyambut uluran tangan Kuchel, saat itu juga ia merasa dirinya benar-benar hancur. Ia melihat Levi di hadapannya menangis begitu hebat. Berlatarkan danau tempat pertama kali Levi menemukannya menangis.
Levi benar-benar mendengarkannya. Membiarkan hujan menyembunyikan tangisnya.
Mikasa berjalan menghampiri Levi dengan tubuh yang bergetar. Isakan Levi yang memasuki indera pendengarannya begitu menyakitkan. Ia bersimpuh di hadapan Levi. Tangannya terulur membawa Levi ke dalam pelukannya.
Kendati ia menyadari semuanya sia-sia. Ia tidak bisa memberikan pelukan itu kepada Levi. Ia sudah tidak berada di tempat dan waktu yang sama. Waktu miliknya telah berhenti.
"Mikasa... apakah aku sudah gila karena merasakan hangatnya pelukmu?" Levi bertanya lirih pada rinai hujan yang berjatuhan di depan matanya.
Mikasa membulatkan matanya, tangisannya semakin keras. Apakah Levi masih bisa merasakan kehadirannya? Jika iya, siapa pun; hujan, bulan, bintang, atau bahkan angin; tolong sampaikan pada Levi bahwa ia memang berada di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of The Rain [COMPLETED]
FanfictionAh, kebahagian? Bahkan rasanya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bahagia. Aku hanya berjalan mengikuti alur waktu membawaku. Satu hal yang aku tahu, aku sangat membenci hujan. Sampai suatu hari, ia datang dan membuatku menyukai saat langit...