Disarankan sambil memutar lagu yang disediakan.
Selamat membaca!***
Armin memandang wajah damai sahabatnya. Jasad prajurit yang gugur belum dikebumikan, mengingat mereka baru sampai di Tembok Shina saat matahari sudah bertukar peran dengan bulan.
Netra sebiru lautnya yang begitu damai memandang sendu. Tidak menyangka akan kehilangan sosok yang begitu berharga dalam hidupnya. Kenangan mereka sejak kecil terputar tanpa izin dalam benaknya; disusul oleh air mata yang terjatuh begitu deras pada pipinya.
Berbeda dengan pemuda dengan marga Jaeger. Ia memilih untuk berdiam diri sendirian. Berkali-kali menghina dirinya sendiri dengan kata-kata kasar. Dirinya pantas untuk mendapat sumpah serapah dan hinaan.
Kali ini, melihat wajah Mikasa saja rasanya sudah tidak sanggup. Ia yakin akan hancur saat itu juga. Mengingat perkataan gadis itu yang berpesan agar ia hidup bahagia; agaknya ia merasa marah.
"Bagaimana caranya hidup bahagia jika kau pergi, Mikasa?" Eren berbicara pada dersik yang menyapu helaian rambut cokelatnya.
Mikasa itu bagaikan sosok ibu kedua baginya. Setelah kepergian ibunya, Mikasa-lah yang selalu ada untuknya. Menyesal pernah memperlakukan gadis itu secara kasar. Sebenarnya, ia tidak bermaksud menolak afeksi yang diberikan Mikasa. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara menanggapinya.
Sejatinya, jalan pikir Eren pun sulit untuk ditebak. Hanya satu hal yang bisa ditebak dari pemuda ini; tentu obsesinya pada kebebasan. Namun, kebebasan itu sendiri akan ia berikan pada orang sekitarnya. Terutama Mikasa dan Armin.
Kali ini, ia sungguh berpikir. Apakah bayaran untuk mencapai kebebasan memang semahal ini? Juga, ia marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa melindungi Mikasa saat itu? Padahal, Mikasa selalu ada saat ia di dalam bahaya.
Perlahan bahu kokohnya mulai bergetar. Air mata terjatuh tanpa izin dari netra zamrudnya. Ia bangkit dari duduknya, sejenak menatap langit yang belum berhenti menurunkan hujan.
Kakinya ia langkahkan menuju tempat di mana Mikasa berada. Netranya menangkap Armin yang sedang terisak di sebelah Mikasa yang terbaring kaku. Ia menghampiri Armin, menepuk pelan pundak sahabatnya.
"Armin..."
"Eren, Mikasa tidak akan pernah kembali lagi untuk kita."
Eren memandang wajah Mikasa. Gadis itu selalu terlihat cantik. Tangannya perlahan menggenggam tangan kanan Mikasa yang terasa dingin. Isakan tangisnya begitu memilukan.
Ia kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.
***
Pusat Kerajaan Paradis begitu ramai pagi ini. Levi bersandar pada tembok dengan wajah yang ia tundukkan. Tidak ada yang memulai percakapan di antara anggota Survey Corps kali ini. Hanji memandang Levi dengan tatapan yang begitu sendu.
Baru kali ini ia melihat Levi sehancur ini.
Begitu pula dengan Jean. Bagi pemuda itu, Mikasa adalah cinta pertamanya. Ia mencintai Mikasa dengan tulus. Sampai-sampai ia rela mengalah asalkan Mikasa bisa bahagia. Namun, ia bahkan tidak bisa melindungi gadis itu.
Baginya, ia tidak apa jika melihat Mikasa bersanding dengan orang lain, daripada ia tidak bisa lagi melihat sosok gadis pengisi hatinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of The Rain [COMPLETED]
FanfictionAh, kebahagian? Bahkan rasanya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bahagia. Aku hanya berjalan mengikuti alur waktu membawaku. Satu hal yang aku tahu, aku sangat membenci hujan. Sampai suatu hari, ia datang dan membuatku menyukai saat langit...