Pasukan survey corps menjadi incaran polisi militer. Setelah kegagalan mereka, pasuka survey corps dibekukan dari misi di luar tembok. Selain itu, mereka juga menjadi tidak leluasa untuk melakukan pergerakan. Markas mereka pun akhirnya pindah ke sebuah rumah terpencil.
Malam hari ini anggota survey corps berkumpul di ruang tengah untuk membahas rencana mereka. Levi mengedarkan pandangannya, tunggu, tidak ada aura suram di sini.
"Apa kalian tidak menyadari salah satu teman kalian menghilang?"
Anggota yang lain saling menatap satu sama lain. Ah! Mikasa tidak ada. Kemana ia?
"E-eh, perasaan tadi ada Mikasa!" teriak Sasha.
"Kita harus mencarinya, heichou!" ucap Eren.
"Biar aku saja yang -" perkataan Jean terpotong. Padahal ini kesempatan dia menjadi penolong bagi Mikasa.
"-tidak. Kalian diam di sini, aku akan mencari Mikasa." ucap Levi.
***
Mikasa menatap danau di hadapannya dengan tenang. Ia selalu suka dengan danau, mengingatkannya akan kenangan masa kecilnya. Ah, Mikasa jadi sangat merindukan kedua orang tuanya. Apa kabar ayah dan ibunya? Rindu yang paling sakit adalah ketika kita tidak bisa lagi sekedar menatap orang yang kita rindukan.
Mikasa menundukan pandangannya. Menyembunyikan sebagian wajahnya ke dalam syal merah pemberian Eren. Rintik hujan mulai turun, seolah menumpahkan air matanya. Malam, danau, dan hujan, sempurna. Mikasa menyukai hal ini. Tidak peduli pakaiannya menjadi basah kuyup –pun tidak memikirkan ia bisa saja sakit setelah ini.
'Mikasa! Mengapa kau senang sekali keluar saat hujan?' tanya ibunya.
'Ibu, aku sangat menyukai hujan!'
'Eh, mengapa?'
'Tidak tahu, pokoknya aku suka sekali kalau hujan. Aku bisa bermain air dengan bebas.' Mikasa mengatakannya dengan wajah sangat senang.
Kilas balik kenangan indah itu terputar begitu saja di kepalanya. Seolah menamparnya dengan realita saat ini. Bahkan, orang tuanya direnggut saat hujan turun. Hujan mengiringi kepergian seseorang yang sangat berharga baginya. Tapi, Mikasa punya alasan tersendiri mengapa ia malah menyukai hujan.
Ia mengadahkan kepalanya, membiarkan rintik hujan membasahi wajahnya. Ia menitikkan air matanya. Terisak begitu pilu, menyiratkan kesedihan yang mendalam. Ya, saat hujan ia bisa bebas mengeluarkan air matanya tanpa ada yang tahu.
Levi mendecih saat tau hujan turun. Sial, kemana gadis itu? Ia sudah kesana kemari mencarinya. Hujan– pikirannya kacau, takut dengan pikirannya sendiri. Ia takut harus kehilangan Mikasa juga. Bagi Levi, hujan sangat identik dengan kesakitan dan kehilangan. Ia memacu kudanya lebih cepat, ntah mengapa hatinya mengarahkannya pada sebuah danau. Itu dia, siluet seorang gadis yang ia cari-cari.
Levi menghampiri Mikasa, dari jauh ia melihat pundak gadis itu naik-turun, apa Mikasanya menangis? Ia menyembunyikan diri di pohon yang berjarak beberapa meter dari gadis itu. Isakan pilu yang terdengar menyedihkan. Ia bersumpah seolah melihat dirinya dalam diri Mikasa. Tidak ingin memperlihatkan kesedihannya pada orang lain, namun tetap saja ia dan Mikasa juga manusia yang punya hati.
Mikasa mengeluarkan semua kesedihan yang disimpan dalam hatinya. Mengenai kerinduan pada orang tuanya, juga mengenai perasaannya pada Eren. Hanya Eren dan Armin yang ia punya sekarang. Ia akan selalu melindungi mereka. Ntah bagaimana jadinya jika Mikasa kehilangan mereka. Membayangkannya saja membuat isakannya semakin keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of The Rain [COMPLETED]
FanfictionAh, kebahagian? Bahkan rasanya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bahagia. Aku hanya berjalan mengikuti alur waktu membawaku. Satu hal yang aku tahu, aku sangat membenci hujan. Sampai suatu hari, ia datang dan membuatku menyukai saat langit...