Mengerti cara kerja kenangan hidup? Sejauh apapun kau lari, kau tidak akan bisa menghapusnya. Kau harus bisa menerimanya—berdamai dengan diri sendiri—karena kenangan adalah bagian dari hidupmu. Namun, rasanya sangat buruk jika selama ini dibelit oleh pahitnya kenangan sendiri. Hilang? Tidak bisa. Kau hanya butuh seseorang yang dapat membantumu mengukir kenangan baru. Kenangan baru yang membuatmu dapat mengerti arti dari hidup yang membawamu pada kebahagiaan.
Pola pikir Mikasa selalu seperti itu. Menerima, walau memang pahit. Melihat air mata Levi yang jatuh ke pipinya membuatnya merasa iba. Ah, lelaki itu mana mungkin mau menerima rasa iba. Bagi Mikasa, menghadapi seseorang seperti Levi berbeda. Cara agar Levi mau mendengarnya adalah melalui kesunyian, sampai akhirnya ia yang membuka pembicaraan. Maka dari itu, sedari tadi Mikasa hanya menatap Levi diam-diam.
Levi mengadahkan kepalanya. Menikmati gelap dan sunyinya malam. Padahal, maksudnya adalah agar tidak ada lagi air mata yang jatuh. Ia menundukkan kepalanya. Terkesiap saat netranya tepat menubruk iris kelam milik Mikasa. Sejak kapan gadis itu terbangun? Apa ia melihatnya?
"Kau.. sejak kapan terbangun?"
"Sejak merasakan air jatuh ke pipiku. Aku sudah kaget, ku kira itu air liurmu." jawab Mikasa. Jelas ia berbohong.
Levi hanya mendecih mendengar jawaban Mikasa. Mengetahui gadis itu berbohong. Sedari awal, Mikasa pasti mengetahui dirinya menangis, dan air itu adalah air matanya.
"Kau melihat semua?" tanya Levi.
"Heichou, harus berapa kali ku katakan bahwa kau juga manusia. Hal yang wajar bagiku. Walau sedikit terlihat konyol, karena ini kali pertamaku melihat kau seperti itu."
Jawaban Mikasa memang menyebalkan. Namun, bisa membuat Levi sedikit tenang. Setidaknya Mikasa yang memergokinya tadi. Bayangkan jika anggota yang lain, ditaruh mana harga dirinya?
"Aku hanya teringat ibuku." jawab Levi. Lidahnya terasa lebih mudah untuk menyampaikan perasaannya pada Mikasa. Hatinya pun rasanya sudi untuk berbagi kisah, hanya dengan Mikasa ia bisa seperti ini.
"Cih, dunia ini begitu fana. Bodohnya aku pernah menaruh harapan."
"Kau benar, heichou. Aku pun sama bodohnya dengan kau, menaruh harapan pada dunia dalam keadaan kebebasan pun tidak kita rasakan."
"Namun, bukankah terkadang justru dunia ini terlihat indah? Dibalik hal buruk yang kita alami, terkadang malah menuntun kita pada hal baru yang tak pernah kita duga. Hal itu yang membuatku terus berharap." jawab Mikasa.
'Kau benar Mikasa. Dan hal baru yang membuatku bisa sedikit menaruh harapan pada dunia ini adalah dirimu'
Levi terdiam sejenak, mencoba menetralisir emosi dalam dirinya. Ia dan Mikasa memiliki kenangan yang sama kelamnya. Mungkin, menjadi manusia yang bisa merasakan emosinya adalah hal baru bagi Levi, mengingat selama ini ia seperti sudah mati rasa. Namun, bertemu dengan Mikasa, membuatnya ingat bahwa ia juga manusia yang masih mempunyai hati.
Di satu sisi, Mikasa juga sebenarnya sama. Kehilangan ruang dalam hatinya untuk peduli. Menekan semua rasa sakit, menanamkan pemikiran bahwa ia akan baik-baik saja. Namun, saat bertemu Levi, ia jadi lebih mampu berpikir jernih dalam setiap kondisi. Walaupun ia lebih suka memendam semuanya, ia juga ingat bahwa dirinya manusia.
Mikasa mendudukan dirinya, "Heichou, akankah kita bisa mencapai kebebasan?"
"Tentu saja, maka dari itu kita harus tetap hidup."
Omong-omong tentang kebebasan. Eren selalu antusias bahkan menjadi budak dari keinginannya sendiri. Mencapai kebebasan, yang Mikasa tahu, Armin selalu bercerita di luar sana dunia masih sangat luas. Ada hamparan danau garam yang sangat luas—laut—yang indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of The Rain [COMPLETED]
FanfictionAh, kebahagian? Bahkan rasanya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bahagia. Aku hanya berjalan mengikuti alur waktu membawaku. Satu hal yang aku tahu, aku sangat membenci hujan. Sampai suatu hari, ia datang dan membuatku menyukai saat langit...