Ingin rasanya bisa menghentikan waktu. Membiarkan semuanya tidak terlewatkan. Kenangan-kenangan indah akan selalu terpatri dalam hati dan menjadi memori yang paling diingat.
Mikasa terbangun terlebih dahulu, melihat Levi di hadapannya masih terlelap. Tidak tega untuk membangunkan. Jangankan membangunkan, bergerak sedikitpun tidak. Mikasa tahu, Levi mudah sekali terbangun karena pergerakan kecil. Jarang sekali bukan melihat kaptennya ini tidur pulas?
Menatap puas-puas wajah sang kapten—pengisi hatinya—dengan sorot mata syarat akan kesenduan sekaligus kebahagiaan. Bertanya-tanya maksud dari bunga tidur yang menghampiri malamnya. Ah, Levi sangat tampan ya. Tangannya tergerak untuk mengelus pipi sang kapten.
"Sudah puas memandang wajahku?"
Mikasa terkesiap, sejak kapan Levi terbangun? Rona merah mulai memenuhi pipinya. Sebenarnya, Levi sudah bangun lebih dahulu dari Mikasa. Memandangi wajah Mikasa, menyimpan wajah Mikasa baik-baik dalam ingatannya. Namun, saat Mikasa terlihat akan bangun, ia berpura-pura tidur.
"Sejak kapan kau terbangun?"
"Aku merasa aura suram menguar di sekitarku. Aku baru ingat kau ada di pelukanku."
"Sialan kau!"
Levi tertawa sejenak, bukan hal yang aneh lagi bagi Mikasa melihat Levi tertawa di hadapannya. Namun, tetap saja dirinya masih merasa sedikit kaget.
"Omong-omong, tanganku kesemutan."
Oh, tentu saja! Semalaman tangannya digunakan sebagai bantal bagi Mikasa. Mengingat Mikasa begitu sedih tadi malam, Levi berinisiatif untuk bertanya.
"Ah, maaf!"
"Tak apa. Kau semalam mimpi apa?"
"Tidak, hanya mimpi buruk biasa."
Tentu saja Mikasa berbohong. Rasanya ia belum siap menceritakan perihal mimpinya pada Levi. Ia sendiri pun masih menerka-nerka maksud dari mimpinya. Berharap semuanya hanya sekadar bunga tidur, bukan pertanda apapun. Sebenarnya, Mikasa tidak peduli perihal mimpinya saat tidur. Namun, mimpi tadi malam rasanya berbeda—sangat nyata, rasa sakitnya pun terasa saat ia bangun.
"Kau melamun, bocah."
"A-ah, heichou, mau ku buatkan teh?" tanya Mikasa mengalihkan pembicaraan.
Levi hanya mengangguk singkat. Ia tahu, Mikasa menutupi sesuatu darinya. Perempuan itu terlihat lebih diam dan banyak melamun. Meskipun Mikasa memang sosok yang pendiam, tetapi diamnya kali ini terasa berbeda bagi Levi. Levi juga mengerti untuk tidak bertanya lebih lanjut, membiarkan waktu yang membuat Mikasa berterus terang kepadanya.
Mikasa kembali ke ruangan Levi membawa dua cangkir teh. Sebentar lagi mereka harus bersiap-siap. Mengingat masih ada titan Rod Reiss yang berkeliaran menuju Distrik Ovrud. Rasanya, tidak ada waktu senggang sedikitpun bagi Survey Corps belakangan ini.
"Terima kasih, Mikasa."
Mikasa mengangguk menanggapi ucapan Levi. Keduanya terdiam, menyesap teh masing-masing. Terhanyut dalam pikiran tak berujung. Levi mulai memikirkan, jika dirinya Ackerman dan Kenny pun ackerman, bukankah ada kemungkinan mereka bersaudara? Ia harus mencari tahu semuanya.
Mikasa kembali ke kamarnya. Berganti baju dan bersiap-siap. Pasukan Levi dan Hanji berkumpul di halaman markas, mendengar baik-baik instruksi dan strategi yang direncanakan oleh Erwin. Historia terlihat sedikit berbeda, ada sorot kesedihan pada matanya. Siapa juga yang tidak sedih-disaat baru bertemu dengan ayahnya setelah sekian lama-ia dihadapkan dengan realita bahwa ayahnya harus dibunuh. Ada sedikit rasa egois dalam pikiran Historia bahwa semuanya tidak adil. Namun, satu nyawa dibanding dengan ribuan? Rasanya itu jauh lebih tidak adil.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of The Rain [COMPLETED]
FanfictionAh, kebahagian? Bahkan rasanya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bahagia. Aku hanya berjalan mengikuti alur waktu membawaku. Satu hal yang aku tahu, aku sangat membenci hujan. Sampai suatu hari, ia datang dan membuatku menyukai saat langit...