Holla!
Sudah lebih lima purnama saya tidak menyapa. Akhirnya saya kangen juga. Hehe
Masih ada yang nungguin kah? Ada! Plak! ((ngarep)) Haha
Sadar diri, sih. Sudah lama lapak ini ditinggal pergi. Maafkan yaa:)
Ada alasan di balik keterlambatan, Kawan. Hehe
Selain disibukkan dengan perkuliahan, saya juga sedang mengerjakan suatu hal yang kini menjadi kewajiban. Seharusnya saya bisa menyempatkan. Tapi, yaa begitu. Waktu senggang saya pakai untuk istirahat. Sekali lagi saya mohon maaf yaa atas keterlambatan ini. Meski hanya segelintir orang yang membaca cerita ini, saya tetap merasa tak enak hati. Ada beberapa yang bahkan menanyakan waktu update-an, dan selalu saya jawab nanti jika senggang. I'm so sorry to keep you waiting, guys🙏Terima kasih buat yang masih setia🌹
Pasti sudah lupa yaa sama alur ceritanya?! Hayoloh. Haha
Kalau lupa, baca saja dulu 2-3 chapter sebelumnya yaa.
Okay. Selamat bersua, guys. Here we go⬇{Irsa Humaira Baryn}
Aku nggak pernah berpikir untuk punya sahabat berjenis kelamin laki-laki. Sedari SD hingga SMA, semua teman dekatku berjenis perempuan. Anak perempuan mainnya ya sama anak perempuan, anak laki-laki mainnya ya sama anak laki-laki. Itulah doktrin yang selalu terngiang sejak aku masih anak-anak. Tak seharusnya anak perempuan memiliki teman dekat seorang anak laki-laki, terlebih jika telah beranjak dewasa. Takut menimbulkan fitnah. Kolot memang, pemikiran masyarakat di sekitar lingkunganku tinggal. Namun, tak sepenuhnya dapat disalahkan. Toh, setan akan selalu mengikuti dan mengganggu manusia agar terjerumus dan menemaninya kekal di neraka. Tapi, ketika kita mampu memproteksi diri dan tahu batasan, sah-sah saja kok laki-laki dan perempuan menjalin suatu persahabatan.
Aku tak pernah menduga. Tapi pertemuanku dan Hasby telah direncanakan takdir dan direstui semesta. Hingga aku dan dia saling ketergantungan, saling membutuhkan, merealisasikan kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Bagiku, Hasby layaknya orang tua yang selalu rewel perihal waktu makan, waktu tidur, dan menjaga kesehatan. Padahal aku sudah kenyang dengan wejangan Ibu yang amat panjang tiap kali memberi kabar. Tapi tak apa, itu tandanya Hasby tidak mengizinkanku sakit barang semenit.
Hasby juga bisa menjadi sosok seorang kakak. Berhubung aku anak tunggal, dia selalu ada di saat aku membutuhkan teman cerita. Ririn pun berlaku demikian. Namun, entah kenapa. Pada Hasby, aku lebih leluasa. Mungkin, karena aku selalu mengidamkan sosok seorang kakak laki-laki, dan Hasby hadir sebagai realisasi.
Hasby bisa menjelma menjadi sosok orang tua, kakak laki-laki, teman cerita, dan tukang ojek yang siap siaga mengantar penumpangnya sampai tujuan seperti saat ini.
"By, lo pernah ngontrak matkulnya Bu Tresa?" tanyaku dengan sedikit berteriak. Maklum, mendadak bolot kalau mengobrol ketika berboncengan seperti ini.
"Pernah, waktu semester tiga dulu," balasnya tak kalah berteriak.
"Dia lumayan resek juga ya ternyata." Hasby mengangguk membenarkan.
Bukan tanpa alasan aku berkata demikian. Beliau itu perpaduan sempurna antara karakter Pak Arul dan Pak Ahmad. Pelit nilai, tak bisa mengulang jika mendapat nilai yang kurang memuaskan, dan super disiplin. Sialnya, kelasku selalu mendapat jadwal pagi. Alhasil, seperti jadwal matkul Pak Arul, aku harus berangkat sepagi mungkin. Berburu lalu lintas lengang dengan anak sekolahan.
"Btw, hubungan lo sama Fitri udah sejauh mana?"
"Enggak ke mana-mana. Gua kan enggak punya hubungan apa-apa sama dia," balas Hasby cuek.
"Ngakunya enggak punya hubungan apa-apa," aku menunjuk pergelangan tangan kirinya yang dilingkari sebuah jam. "Terus itu apa? Kenapa lo pakai?"
Sebuah jam yang melingkar pada pergelangan tangan kiri Hasby adalah hadiah dari Fitri. Ia memberikannya dua hari setelah hari ulang tahun Hasby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say, "Hi!"
Romance"Maaf kak, aku nggak bisa nikah sama kakak," lirih Irsa. Jelas Arsya tidak menerima keputusan sepihak itu. "Nggak ada penolakan! Pokoknya kamu harus nikah sama aku, gimana pun caranya." Irsa mendongak dan menatap wajah Arsya yang sedang menyeringai...