Menjabat sebagai sekretaris di Himpunan dan Asisten Laboratorium menjadikanku orang sibuk. Rapat sehabis kuliah sampai larut, mengawasi mahasiswa yang melakukan praktikum, mengolah nilai. Itu membuat hari-hariku penuh dengan kegiatan. Hampir tak mendapat hari libur.
Belum lagi aku yang pindah kosan. Jika dulu ke kampus cukup dengan berjalan kaki, sekarang aku harus naik angkutan umum.
"Irsa, kamu pulang sama siapa?" tanya Fikri -ketua Himpunan.
Seperti biasa, hari ini aku harus menghadiri rapat Himpunan hingga larut malam.
22.30 WIB. Sudah tidak ada angkutan umum yang lewat di jam segini. Kecuali aku harus naik ojol.
Aku menaikkan ritsleting jaket. Malam di Bandung cukup dingin.
"Paling aku nunggu Hasby selesai rapat, Kang."
"Rapat BEM bisa sampai jam 23.00 lho. Yakin mau nunggu?" ujarnya.
Iya juga sih. Mana badan udah lengket minta dimandiin. Uh, kenapa Hasby harus jadi orang sibuk juga sih?!
"Yakin, Kang. Aku nunggu Hasby aja," aku gak begitu yakin sebenarnya.
"Mending aku anter aja. Ini udah larut, Ir. Terlebih kamu perempuan," tawarnya.
Gimana ya? Aku sih pengen. Tapi, jangan deh. Aku gak mau menumbuhkan harapan Kang Fikri. Aku gak bisa nerima perasaan dia.
Semenjak menjabat sebagai sekretaris dan Kang Fikri sebagai ketua Himpunan, kami selalu terlibat dalam kegiatan yang sama.
Pernah dengar pepatah ini?
'Cinta datang karena terbiasa.'Mungkin itulah yang dirasakan Kang Fikri padaku. Memang, ia tak pernah mengatakan apapun tentang perasaannya padaku. Tapi, sikapnya itu mudah terbaca olehku. Dia menyukaiku. Tapi maaf Kang, aku tidak bisa.
"Gak usah Kang. Tadi Hasby chat, katanya rapatnya sebentar lagi selesai." Maafkan aku yang harus berbohong.
Menghela napas pasrah, "Yaudah. Aku pulang dulu. Kamu hati-hati. Kalo ada apa-apa langsung hubungi aku."
"Iya siap Kang. Hati-hati di jalan."
Akhirnya Kang Fikri pulang dengan mengendarai sepeda motor.
1 jam berlalu. Aku sudah lelah menunggu Hasby. Aku harus menelponnya.
"By, lo kapan pulang sih? Gua udah 1 jam nunggu lo," aku kesal padanya.
'Aduh, Ir. Maaf banget. Rapatnya belum kelar nih. Lo bisa pulang naik ojol kan?'
Kenapa gak bilang dari tadi sih. 1 jamku terbuang sia-sia.
"Yaudah. Gua pulang duluan!" tanpa menunggu jawabannya aku langsung mematikan sambungan.
Aku bergegas menuju gerbang. Sepanjang perjalanan, aku tidak berhenti menggerutu. Hasby menyebalkan!
Setelah sampai, aku harus berjalan menuju sisi lain jalan. Aku benci ini. Aku tidak bisa menyeberang. Bagaimana ini? Mana jalanan cukup ramai.
Dengan tekad yang datang karena kepepet, aku memberanikan diri melangkah untuk menyeberang. Aku harus bisa. Demi badan yang sudah lengket. Aku harus cepat sampai kosan dan mandi.
Sudah kubilang aku tidak bisa menyeberang. Aku terjatuh ketika sebuah mobil dari arah kiri menyerempetku. Aku berusaha bangun. Tanganku sakit sekali. Pengendara mobil itu turun.
"Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Mbak, tidak apa-apa?" tanyanya setelah menghampiriku dan membantuku untuk berdiri.
"Aku tidak apa-apa. Ini juga salahku yang tidak bisa menyeberang jalan."
Sebentar, di mana ponselku? Aku yakin, aku selalu menggenggamnya. Aku celingukkan mencari ponselku yang terlepas dari genggaman.
"Mbak, sedang cari apa?" herannya.
"Anu...Aku mencari ponselku. Mungkin terjatuh ketika aku terserempet tadi."
Nah, itu dia ponselku. Perasaanku tidak enak. Aku mengambil ponsel itu di dekat ban belakang mobil. Oh tidak! Ponselku terlindas.
"Ponselnya mati. Bagaimana ini? Aku tidak bisa pulang. Aku tidak bisa memesan ojol." gumamku. Aku berusaha menghidupkannya. Namun nihil, ponsel itu tetap mati.
"Saya minta maaf. Tapi saya akan menggantinya," ujarnya yang berada di belakangku.
"Tidak usah. Ini ketidaksengajaan," jawabku lalu berbalik.
Aku terkejut. Tidak mungkin aku lupa dengan tragedi di kosan Ririn tempo hari. Dia adalah teman kakaknya Ririn.
Lantas aku menunduk malu. Tak berani menatap wajahnya. Kenapa harus dia yang menyerempetku sih?!
"Kamu temannya Ririn itu kan?" Aku mengangguk.
"Aku minta maaf. Ponselmu akan aku ganti. Dan...Ayo kuantar pulang sebagai permintaan maaf."
Aku menggeleng, "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri."
"Selarut ini dengan ponselmu yang mati?" Bibirku terkatup tak bisa menjawab.
Ini sudah tengah malam. Mustahil masih ada angkutan umum yang lewat.
"Aku tidak menerima penolakan. Ayo, aku antar." Seperti yang ia katakan, aku tidak bisa menolak.
Atmosfer di mobil ini sungguh menggangguku. Canggung. Mana tangan kananku sakit. Aku terus meringis.
"Kamu benar baik-baik saja?" Aku mengangguk.
"Tapi aku merasa kamu terluka." Aku rasa juga begitu.
Ia menepikan mobilnya. Kenapa berhenti? Kosanku masih jauh.
"Bisa singsingkan lengan jaketmu?" ujarnya dengan menatapku.
Aku tidak menjawab. Tapi mengikuti apa yang ia minta.
Hal pertama yang kulihat adalah darah. Yap, tanganku terluka. Aku meringis. Ini sakit.
Lantas cowok itu mengambil sebuah kotak di dashboard. Kotak P3K.
"Aku izin untuk mengobatimu," aku hanya mengangguk.
Rasanya perih ketika luka itu bertemu dengan kapas yang dibasahi dengan antiseptik.
Ia memberi perban pada lukaku sebagai penutup.
"Aku sungguh minta maaf," ia menampilkan wajah bersalah.
"Tidak apa-apa. Ini bukan sepenuhnya salah kakak." Memang benar, ini juga karena kecerobohanku.
"Dan untuk ponselmu itu, aku akan menggantinya." Aku teringat dengan ponsel yang sudah tak bisa hidup itu.
"Besok aku akan menjemputmu. Kita pergi ke toko ponsel. Kamu bisa kan?"
"Aku bisa. Terima kasih. Maaf jadi merepotkan kakak."
Ia mengangguk. Kemudian melajukan mobilnya menuju kosanku.
Hai Hai Hai Readers!
Long times no see yaa. Maaf telat banget update-nya. Aku sibuk sama kegiatan kuliah. Maaf, namanya juga masa transisi😆
Semoga suka yaa sama part ini.
See you next part💕
Dadaaahhh👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Say, "Hi!"
Romance"Maaf kak, aku nggak bisa nikah sama kakak," lirih Irsa. Jelas Arsya tidak menerima keputusan sepihak itu. "Nggak ada penolakan! Pokoknya kamu harus nikah sama aku, gimana pun caranya." Irsa mendongak dan menatap wajah Arsya yang sedang menyeringai...