16: ARENA

94 18 4
                                    

"Pandailah dalam menentukan pilihan. Yang ori sangat banyak, tetapi yang tulus sangat langka."


Melda meninggalkan kantin dengan perasaan kesal setengah hidup ralat, setengah mati. Gadis itu berjalan dengan memasang wajah dingin. Orang-orang yang melihatnya seketika bergidik ngeri dengan wajahnya yang dingin itu.


Langkah kakinya membawa ia ke dalam sebuah arena panahan yang berada di dalam ruangan yang begitu luas. Arena tersebut sepi sehingga Melda memilih ke sini untuk sekedar menenangkan hatinya.

Perlu kalian ketahui bahwa SMA Smaga adalah salah satu sekolah yang menyandang kata elite. Tak hanya mempunyai arena panahan, SMA Smaga juga mempunyai ruangan yang di dalamnya terdapat kolam renang. Salah satu atlet renang yang sering kali mendapat piala dan selalu dikirim untuk mewakili SMA Smaga adalah Daffa Chandra Wiguna. Orang yang ditaksir oleh Zeta.

Disini ada juga klub musik. Klub musik juga mempunyai ruangan pribadi. Tidak terlalu besar tetapi tempatnya yang rapi dipenuhi alat musik membuat kita selalu ingin berlama-lama disana. Yang Melda tahu, Gwen juga ikut serta dalam klub tersebut. Melda pernah melihat Gwen memainkan biola dengan lihai di tempat itu. Ternyata kawannya jago juga memainkan alat musik seperti itu.

Dan masih banyak lagi hal menarik lainnya yang membuat SMA Smaga makin terkenal keberadaannya. Banyak sekali siswa yang ingin melanjutkan sekolahnya disini, tetapi karena keterbatasan ekonominya sehingga SMA Smaga hanya bisa menjadi angan-angan semata. Hanya dua kemungkinan bersekolah disini. Pertama, dengan mengeluarkan uang dan kedua, dengan jalan beasiswa.

Kembali ke Melda, gadis itu berjalan ke tempat dimana busur beserta anak panah tersimpan rapi. Tangannya mengambil busur andalannya beserta anak panahnya juga. Setelah itu, ia melangkah memasuki lintasan dimana papan target berdiri tegak dengan jarak yang lumayan jauh.

Disamping tempat ia berdiri terdapat alat-alat yang akan digunakan sebelum bermain. Melda mengambil beberapa alat pelindung yang sekiranya ia harus pakai.

Setelah beberapa menit berkutat dengan alat pelindung, Melda akhirnya memposisikan badan searah dengan papan target. Melda menghembuskan nafas pelan.

Melda mulai memasukkan ekor anak panah di tali busur. Ia bersiap membidik dengan melakukan setengah tarikan dan memegangnya dengan kuat. Kemudian, ia menarik tali busur hingga menyentuh dagunya. Setelah melakukan tarikan penuh, Melda menahan anak panah dengan kuat dan tetap konsentrasi agar bidikan tepat sasaran.

Melda membayangkan wajah Algi berada disana. Sebagai pengganti papan target. Melda tersenyum miring. Sepertinya lebih bagus jika panah ini menembus kepala Algi. Lagi-lagi Melda terkekeh geli. Pikirannya sekarang sangat liar. Sudah hampir seperti psikopat. Rasa laparnya seketika lenyap digantikan dengan keinginan panah ini harus menancap di kening Algi. Harus!.

Tanpa basa basi lagi, Melda melepaskan tarikan pada anak panah tersebut. Anak panah itu meluncur sangat cepat tetapi tak menancap di lingkaran kecil berwarna kuning disana. Melda mendesah kecewa. Padahal hampir saja tepat sasaran.

Melda mengulang kembali. Ia mengambil anak panah lain dan melakukan hal yang sama.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Lagi-lagi meleset. Ada apa dengan Melda? Biasanya tak seperti ini. Apakah ada yang salah dengan panah ini?. Melda menatap intens busur di tangannya sembari memutar-mutar benda itu mencari kesalahan yang ada. Melda berdecak. Sekali lagi. Ia mencoba sekali lagi. Kali ini, ia benar-benar fokus. Ia menarik tali busur dengan mata yang fokus kepada target di depan.

ALGIAN [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang