24: TAMU MASA LALU

64 10 3
                                    

"Karna ucapan lebih sakit daripada pukulan."


Bruk!

Tubuh Melda terhempas kuat menghantam pagar besi di belakangnya. Gadis itu meringis pelan. Dihadapannya kini terdapat segerombolan gadis yang menatapnya penuh benci.

Melda diam-diam menatap sekitar dan sialnya disini sepi. Mereka menyeret Melda ke belakang gudang tua tepat di area hutan yang dibatasi pagar besi. Di tempat ini memang sering terjadi perundungan karena suasananya yang sepi dan jauh dari pandangan orang-orang.

"Masih idup lo? Gue kira udah di balik papan," cibir Melda memandang Reyna remeh. Setelah kejadian hari itu, Melda nampak dendam kesumat ke Reyna.

Bugh!

Satu pukulan dari Reyna tepat mengenai rahang Melda membuat gadis itu terhuyung ke samping.

Yang dipukul hanya tertawa pelan. Bogeman Reyna keras juga. Sudut bibir Melda sampai mengeluarkan darah segar.

"Dasar cewe gila!" umpat Reyna. Teman-teman Reyna hanya memperhatikan sambil bersedekap.

"Dimana nyali gede lo pas di lapangan hah?! Kenapa diem aja lo!" hardik Reyna dengan tangan yang masih bersarang di rambut Melda.

Melda mengangkat sedikit alisnya. "Ladenin lo kek bicara ama orang gila. Percuma!"

Reyna langsung saja melayangkan satu tamparan di pipi kiri Melda.

Melda berusaha mati-matian untuk tidak membenturkan kepala Reyna di pagar besi walaupun setan dalam dirinya sudah gatal ingin melakukan itu. Dia tidak boleh gegabah, karna disini bukan hanya ada dirinya dan Reyna.

Melda tahu dirinya akan dikeroyok disini jika membalas perlakuan pecundang didepannya. Dan Melda tak mau mati konyol di tempat seperti ini.

"Oh ya? Kita liat siapa yang bakalan jadi gila abis ini." Reyna menyeringai. Gadis itu mundur selangkah memberi jarak.

Melda memanfaatkan kesempatan itu untuk menyeka darah di sudut bibirnya yang mulai mengering. Ucapan Reyna mulai membuat Melda penasaran.

"Rin, telpon tuh cewe sekarang. Hidangannya udah siap. Ya... walaupun udah kita makan dikit sih," ucap Reyna tanpa mengalihkan pandangannya dari Melda.

Airin pun menelpon seseorang. "Udah siap," kata Airin kepada seseorang di telepon. Panggilan pun terputus. Reyna tersenyum miring menatap Melda.

Melda menggeleng pelan sembari terkekeh.

"Gue bingung, kacung lo sebenarnya berapa sih? Segitu nggak mampunya ya lo nyingkirin gue pake tangan lo sendiri?" cemooh Melda.

Reyna mengepalkan tangannya menahan marah. Ini sudah penghinaan besar baginya. Reyna jelas tak terima.

"Bawa gue ke tempat sepi gini biar apa?" Melda munutup mulutnya pura-pura terkejut, "Ah... gue tau. Biar orang-orang gak tau sikap asli lo di sekolah. Biar bokap lo gak tau kalo anaknya ikut serta lakuin kekerasan. Kasian nyokap lo lahirin anak gak berguna kek lo," jelas Melda menohok. Gadis itu tertawa puas.

Wajah Reyna memerah padam. Airin dan yang lain juga sama geramnya.

Tangan Reyna meraih kerah baju Melda kasar. Melda dapat melihat pancaran kemarahan di wajah Reyna yang hanya beberepa senti dari wajahnya.

"Lo-,"

Prok! Prok! Prok!

Ucapan Reyna terjeda kala mendengar suara tepuk tangan di belakangnya. Kepala Reyna tertoleh ke belakang diikuti Melda yang juga melirik datar ke orang itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALGIAN [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang