Rumah Baru

1.2K 35 3
                                    

"Bunda, apa perjalanan kita masih jauh?"

"Masih, Sayang. Mungkin, masih beberapa jam lagi."

"Aku mengantuk sekali, Bunda."

"Tidurlah. Bunda akan membangunkanmu ketika sampai."

Dia adalah putri keduaku, Savira Putri Hermawan. Bocah perempuan yang masih berusia enam tahun. Pemilik rambut hitam, panjang, nan lurus, serta kulit putih berseri. Tipe rambut dan kulitnya mewarisi diriku. Bola mata bulat cerah, alis sedang, hidung lancip, serta bibirnya yang imut, persis menuruni paras cantikku—kata orang begitu. Akan tetapi, dia memiliki dua gigi kelinci yang sangat menggemaskan ketika bibirnya sedikit saja terbuka.

Gadis itu duduk di sebelah kananku, dengan kepala masuk ke dalam bahuku. Dia pasti kelelahan. Duduk di dalam mobil dengan durasi yang lama memang lumayan capek dan membosankan, bukan?

"Bunda, apa rumah baru kita bagus?"

"Em, bunda belum tahu. Tapi, seperti apapun rumah baru itu, kita harus selalu bersyukur, Sayang," jawabku seraya tersenyum.

Yang bertanya kali ini adalah putri pertamaku, Savina Putri Hermawan. Dia baru berusia delapan tahun. Pemilik rambut ikal nan panjang, bulu mata lentik, alis tebal, hidung mancung, kulit yang agak kecoklatan—putriku yang ini cenderung lebih mirip ayahnya. Dia memiliki senyum yang sangat menawan, karena ditemani dua lesung pipi di kanan dan kirinya.

"Bunda, kenapa kita harus pindah, sih? Padahal, Vina sudah betah tinggal di Jakarta. Kalau Vina pindah, itu artinya Vina juga harus meninggalkan sekolah, meninggalkan teman-teman, meninggalkan guru-guru, meninggalkan semuanya," kata Vina sedih.

Kutatap putri keduaku. Aku masih bersikeras menenangkannya. "Bunda tahu perasaanmu, Sayang. Akan berat bagimu untuk meninggalkan semua itu. Tapi, keadaan mengharuskan kita untuk pindah."

Kulihat bola mata itu mulai basah. Pelan-pelan putriku terisak. Aku menjadi semakin tidak tega. Jikalau saja masih bisa, aku juga tidak mau pindah. Aku sudah terbiasa tinggal di kota besar yang penuh hiruk-pikuk dunia itu. Dan penuh ... sandiwara.

Bagaimana tidak? Tiga bulan yang lalu, suamiku baru saja mendapatkan promosi jabatan sebagai Manager di sebuah bank besar milik negara. Sayangnya, tidak lama setelahnya, suamiku dituduh melakukan korupsi dana yang cukup besar.

Pembelaan demi pembelaan telah kami lakukan. Beberapa sidang juga telah kami lewati. Hingga keputusan hakim menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk memenjarakan suamiku.

Namun, hal itu rupanya tidak cukup untuk membela kebenaran. Pihak bank tetap memecat suamiku. Dan itu adalah hal yang cukup menyakitkan. Bila diibaratkan pepatah, 'sudah jatuh tertimpa tangga pula'.

Apalah daya. Setidaknya kami masih bersyukur karena Mas Yudis tidak dipenjara.

Oh, iya, perkenalkan suamiku, Yudistira Hermawan. Usianya baru genap kepala empat. Dia tampan—paling tampan karena dia suamiku. Suamiku pernah bilang, katanya, tidak akan ada yang bisa menandingi ketampanannya—kecuali jika kami sudah memiliki seorang putra. Maka suamiku akan menjadi pria tertampan nomor urut dua setelah putra kami. Atau jika Tuhan mengaruniai kami dua orang putra, maka suamiku akan berada di nomor urut tiga.

Sayangnya, kami belum dikaruniai seorang putra pun. Akan tetapi, kami sudah punya dua bidadari kecil yang cantik jelita, dan kami sangat bersyukur atas kemurahan hati Tuhan yang telah menganugerahkan mereka.

Mau kudeskripsikan lagi tentang ciri-ciri suamiku? Dia memiliki postur tubuh yang tinggi-tegap, serta otot-otot yang terbentuk atletis. Itu karena suamiku hobi nge-gym. Katanya, gym adalah favoritnya—setelah istri dan anak-anak.

Perihal korupsi, aku lebih percaya sepenuhnya kepada suamiku, dan Tuhan. Suamiku tidak melakukannya. Dia difitnah. Mirisnya, oleh sahabat dekatnya sendiri.

Ada banyak sekali cerita yang ingin kukisahkan perihal Mas Yudistira dan sahabat karibnya itu. Tapi nanti. Aku akan menceritakannya padamu, pada kalian, pada semuanya. Aku janji.

Aku hampir lupa untuk memperkenalkan diri. Perkenalkan, namaku Santika Maharani Santoso, 34 tahun. Aku cantik karena aku perempuan. Dan ini kisahku. Kisah kecil yang kutulis dengan sepenuh hati. Kisah liku-liku perjuangan dan perjalanan hidup kami. Keluarga kecil, di rumah kecil yang kokoh karena saling menguatkan.

***

"Santi, kita sudah sampai."

Suara Mas Yudis membangunkanku. Kukerjapkan kedua mataku, mengusir rasa kantuk. Kemudian kugerakkan tubuhku. Hingga kusadari ada dua peri kecil yang masih tertidur di bahuku, kanan dan kiri.

"Bangunkan pelan-pelan mereka," perintah Mas Yudis padaku.

Pukul lima sore, waktu Indonesia bagian barat, kami sampai di depan sebuah rumah kecil. Benar-benar kecil. Tapi muat untuk ditinggali empat tubuh manusia.

Rumah itu terlihat kecil. Mungkin karena kami terlalu sering melihat rumah dan gedung-gedung pencakar langit di kota yang besar-besar. Atau memang benar, ketika kita terlalu sering melihat hal-hal besar, maka hal yang tak seberapa itu akan tampak kecil. Sama seperti rumah sederhana yang akan kita tempati itu.

Selagi aku membangunkan kedua putriku, Mas Yudis membayar ongkos travel kepada sang sopir yang duduk di sebelahnya. Setelah itu, Mas Yudis pun keluar untuk mengambil tas, kardus, barang-barang, dan koper, milik kami yang ada di bagasi mobil.

"Ayo bangun! Vina, Vira, kita sudah sampai."

"Kita di mana, Bun?" tanya Vina mengerjap sebal, kemudian memandang ke sebuah rumah. "Itu rumah siapa?"

"Iya Bunda, itu rumah siapa?" Vira turut bertanya dengan penuh heran.

"Itu ... rumah baru kita, Sayang," jawabku.

Kedua putriku sama-sama terkejut. Hingga kemudian mereka menangis. Aku menjadi bingung untuk menenangkannya.

"Rumah itu jelek, Bunda. Aku tidak mau tinggal di sana!" rengek Vira.

"Aku juga tidak mau tinggal di rumah itu! Aku mau kembali ke Jakarta saja!" Vina turut merengek.

Betapa sedih perasaan mereka, aku juga merasakannya. Sesak terasa dadaku. Perih. Hanya saja, aku tidak boleh menangis seperti mereka. Kalau aku menangis, maka Mas Yudis akan semakin merasa bersalah. Mas Yudis akan semakin sedih karena melibatkan kami ke dalam jurang kesengsaraan.

Aku harus tegar! Aku harus kuat! Ujian hidup ini pasti bisa kami lewati bersama-sama!

Mas Yudis membukakan pintu mobil itu agar kami semua keluar. Kulihat wajah Mas Yudis begitu lelah. Ia pasti tidak tidur sepanjang perjalanan. Semburat kepedihan masih berusaha ia tutupi dengan senyuman. Padahal senyuman itu tidak dapat menipuku. Dia pasti sangat hancur—apalagi melihat kedua putrinya menangis.

Mas Yudis menggendong Vina dan Vira bergantian untuk turun dari mobil. Kami pun berdiri lima meter, tepat di depan rumah baru—yang lebih layak disebut rumah lama karena bangunannya yang tampak tua.

Seorang lelaki menghampiri kami. "Yudis!" serunya.

"Gunawan," sebut suamiku kepada lelaki itu.

Seorang lelaki berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi, dengan kumis tipis, dan rambut klimis yang tertata rapi, serta kacamata minus di atas hidungnya.

Mereka pun berpelukan, saling melepas rindu. Keduanya berteman baik sejak mereka berkuliah di sebuah universitas ternama di Jakarta. Gunawanlah yang merekomendasikan rumah ini kepada suamiku. Lewat Gunawan pula rumah ini berhasil dibeli menggunakan sisa rejeki yang kami miliki. Kemudian diserahkannya kunci rumah itu kepada Mas Yudis.

Inilah awal kehidupan kami. Menjalani kesederhanaan, dengan segala ujian. Terasa berat memang, tetapi kami harus tetap semangat! Bagaimanapun, perjalanan kami masih panjang. Semoga senantiasa dikuatkan, iman serta jiwa kami.

"Ketika kita terlalu sering melihat hal-hal besar, maka hal yang tak seberapa itu akan tampak kecil."
- Nonashitha -

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang