Singkong Rebus

284 18 3
                                    

Malam harinya.

Kudengar suara Mas Yudis dan kedua putriku yang sedang asyik bercanda. Sementara aku sendiri sedang mengangkat singkong rebus dari panci. Hm, baunya lezat.

Kuambil piring untuk menyajikan singkong rebus tersebut. Setelah itu, kubawa singkong yang masih mengepul itu ke ruang keluarga.

"Horey!" seru anak-anak hampir bersamaan.

Mereka antusias menyambutku. Aku menjadi tersenyum. Kuletakkan sepiring singkong rebus di atas meja. Baunya semerbak memenuhi ruangan. Menggoda hidung kami.

"Tunggu sebentar! Ini masih terlalu panas!" kataku memperingatkan.

Setelah suhu singkong rebus itu berkurang, kami pun mulai mengambilnya satu-satu. Hm, enak.

"Bagaimana rasanya?" Aku bertanya kepada mereka.

"Ini enak, Bun," jawab Savira.

Padahal sewaktu di kota, aku pernah membeli singkong rebus di abang-abang pinggir jalan. Dan Savira bilang tidak doyan—dia tidak suka. Syukurlah kalau sekarang Savira mulai suka.

"Dimakan hangat-hangat begini memang nikmat," ujar Mas Yudis.

"Teksturnya seperti kue, ya, Bun?" komentar Savina.

"Iya. Ini empuk dan lembut di mulut. Rasanya manis alami singkong. Padahal bunda enggak kasih gula, loh," kataku ikut mengomentari.

Ini adalah kali pertama kami menikmati singkong rebus yang begitu nikmat. Entah terasa nikmat sebab keadaan kami yang seperti ini. Atau memang jenis singkongnya yang berbeda. Ini sungguh lezat.

***

Keesokan harinya.

Aku sedang memasak di dapur. Sebenarnya bukan memasak seperti nasi dan lauk-pauk. Aku memasak sisa singkong yang direbus semalam.

Berhubung tidak ada sayuran untuk bisa dimasak, dan uangku juga tinggal beberapa ribu rupiah—tidak cukup untuk membeli sayuran. Jadi, aku membuat Singkong Thailand.

Pernah dengar tentang masakan khas yang terbuat dari singkong ini? Ya, Singkong Thailand. Aku biasa menyebutnya seperti itu. Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa disebut sebagai singkong Thailand. Padahal kita membuatnya di Indonesia dan bahannya juga dari Indonesia. Entah bagaimana asal-usul nama itu.

Cara membuatnya cukup mudah. Cukup menyiapkan singkong yang sudah dikupas kulitnya dan dicuci bersih, kemudian menyiapkan santan—kebetulan aku masih punya persediaan santan instan, serta tidak lupa harus ada gula pasir dan sedikit garam. Simple sekali, bukan? Oh, ya, untuk gulanya kalian juga bisa memakai gula Jawa. Sesuai selera saja.

By the way, ditempat kalian biasa menyebut makanan ini apa, ya?

Nah, sarapan pagi kami pun jadi. Cukup mudah, kan, cara membuatnya? Sewaktu di Jakarta aku pernah satu kali membuatnya—selain bahannya lumayan sulit didapat, Mas Yudis atau anak-anak juga jarang me-request. Tapi biasanya aku memberinya parutan keju di atasnya ketika menyajikan untuk anak-anak.

Oke, selesai! Segera kusajikan empat mangkuk singkong rebus santan alias singkong Thailand itu.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mas Yudis yang membukakan pintu.

Oh, rupanya itu Pak Harjono. Dia yang kemarin panen singkong itu. Pak Harjono memberikan upah kepada suamiku yang sudah membantunya mencabuti singkong dari tanah.

"Mangga, silakan duduk dulu, Pak Harjono?" tawar Mas Yudis.

"Tidak, terima kasih. Aku masih ada urusan. Ini juga masih beberapa orang yang belum kuupah. Mau sekalian ke rumahnya," kata Pak Harjono—si juragan tanah di kampung ini. Begitu orang-orang menjulukinya. Kabarnya, tanahnya banyak sekali dan luas.

"Oh, iya, lusa, aku mau memanen kacang tanah. Kalau bisa, sih, sekalian sama istrimu kalau mau ikut derep," kata Pak Harjono melirikku yang berdiri tidak jauh dari mereka.

Derep itu istilah merontokkan kacang tanah dari akarnya.

"Oh, sepertinya biar aku saja, Pak. Istriku harus nganter anak ke sekolah," timpal Mas Yudis.

"Wah, begitu, ya, sudah. Aku pamit, assalamualaikum ...."

"Waalaikumsalam ...." Aku dan Mas Yudis bersamaan.

Seperginya Pak Harjono, Mas Yudis memberikan uang hasil upah kerjanya kemarin kepadaku.

"Ini, buat tambahan belanja. Maafin, Mas, ya? Uangnya cuma sedikit."

Aku menerima uang tiga puluh ribu itu seraya tersenyum. "Alhamdulillah, ini rejeki, Mas. Terima kasih, ya, Mas. Aku akan mempergunakannya untuk berbelanja sayuran hari ini."

"Aku akan bekerja lagi. Supaya kamu dan anak-anak tidak sampai kelaparan," katanya.

Kupeluk tubuhnya erat. "Terima kasih, Mas. Kau rela bekerja sekeras apapun demi kami."

"Itu sudah tugasku, Santi."

Mas Yudis adalah lelaki yang lembut terhadap perempuan. Itulah sebabnya, aku jatuh cinta padanya. Dia juga lelaki yang penuh tanggung jawab. Lihat saja, dalam kondisi yang sekarang ini saja, ia terus berusaha bekerja dan mencukupi kebutuhan hidup kami—dengan bekerja keras apa saja. Sungguh aku sangat bersyukur Tuhan menciptakan Mas Yudis sebagai suamiku.

Kalian tahu, tidak? Sebenarnya suami idaman itu tidak harus laki-laki yang kaya raya dan memperlakukan wanita dengan bermandikan kemewahan. Bagiku, cukup laki-laki yang setia, penuh tanggung jawab, saleh, dan santun dalam memperlakukan wanita. Itu sudah menjadi suami idamanku. Dan itu semua ada pada Mas Yudistira.

Mungkin, kriteria setiap wanita berbeda-beda. Tidak masalah. Hanya saja, menurutku, kalau laki-laki itu kaya raya, tetapi suka berselingkuh dan berbohong, atau kasar dalam bertutur kata dan memperlakukan wanita, ya, apa istimewanya, kan?

"Sayur ...! Sayur ...!"

Suara Pak Jarwo.

"Tuh, yang ditunggu emak-emak," ledek suamiku.

"Aku belanja dulu, ya, Mas."

"Iya."

Aku pun bergegas keluar dari rumah. Menghampiri tukang sayur yang langsung diserbu emak-emak pemburu bahan masakan.

Kupilih beberapa sayuran untuk stok sampai besok. Tidak yang mahal, yang murah-murah saja.

"Kangkung seikat berapa, Pak Jarwo?"

"Dua setengah, Mbak Tinah," jawab Pak Jarwo.

Dua setengah itu maksudnya dua ribu lima ratus ribu rupiah.

"Aduh, mahal amat! Dua ribu sajalah, ya?" tawarnya.

"Enggak bisa, Mbak Tinah. Entar sayanya rugi, dong."

"Yah, mahal. Enggak jadi, deh," kata Bu Tinah meletakkan seikat kangkung itu kembali ke gerobak sayur Pak Jarwo.

"Kalau buncis berapa ini, Pak Jarwo?" tanya Wati.

"Tiga ribu itu, Mbak Wati."

"Dua ribu sajalah, ya?"

Pak Jarwo terdiam sejenak, kemudian berkata, "Ya sudahlah, enggak apa-apa."

"Loh, giliran Wati yang nawar langsung dikasih, loh? Heran," kesal Bu Tinah.

"Bukannya begitu, Mbak Tinah. Soalnya Mbak Wati ini, kan, janda. Jadi, ya, kasihan gitu," ujar Pak Jarwo.

"Halah! Kasihan apa kasihan? Hm ...." Bu Tinah mencibir.

"Ya sudah, itu kangkungnya dua ribu saja enggak apa-apa," kata Pak Jarwo kepada Bu Tinah.

"Tapi aku bukan janda, loh, Pak Jarwo?"

"Hadeh!" Pak Jarwo menepuk jidatnya.

Kami pun tertawa melihat tingkah mereka.

"Berapa ini totalnya, Pak Jarwo?" tanyaku seraya menyodorkan belanjaanku. Dan Pak Jarwo segera menghitungnya.

"Empat belas ribu lima ratus rupiah, Mbak Santi," jawabnya.

"Itu yang lima ratus terasi aja, deh, Pak. Biar genap," kataku.

"Oh, baik, Mbak."

Usai membayar, aku pun pulang.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang